Page 167 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 167

Pemikiran Agraria Bulaksumur
            punya tetapi tidak memiliki harapan yang lebih cerah di masa
            depan. Kelompok ini memiliki pandangan hidup yang berorien-
            tasi ke ‘masa kini’ semakin kuat. Hal ini tidak mengherankan,
            misalnya, seorang petani yang memiliki beberapa luas tanah tetapi
            hasil sawahnya tidak cukup untuk memenuhi yang dia butuhkan,
            menjual sebagian besar dari sedikit panen yang dihasilkanya,
            segera setelah ia memanennya. Ia melakukan itu karena ia tahu
            bahwa harga gabah saat panen sangat rendah dan kemudian kon-
            disi memaksanya membeli makanan ketika harga relatif tinggi.
            Ia melakukanya karena, di masa panen, dia menilai bahwa uang
            tunai lebih tinggi nilainya daripada beras yang diproduksinya,
            dan dia tahu bahwa dia akan membutuhkan uang itu di kemudian
            hari. Dalam hal ini dia terpengaruh oleh kecenderungan konsum-
            tif dan kebutuhan-kebutuhan sosial seperti membeli sesuatu yang
            menyenangkan anak-anaknya atau menyelenggarakan sela-
                 87
            matan . Mungkin orang lainya melakukan hal demikian dengan
            alasan yang berbeda, misalnya, dia harus menjual hasil sawahnya
            karena dia memiliki tanggungan hutang yang harus segera



                87  Thomas Schweizer (2000) memahami selamatan sebagai ritual untuk
            melawan pengaruh-pengaruh jahat dan memberi dorongan kepada seseorang
            yang ingin secara mulus mencapai tahap perjalanan hidup berikutnya (kelahiran
            anak, sunatan, perkawinan, dan kematian), atau terjaga dalam usaha yang baru
            (pindah rumah, beralih pekerjaan, dan sebagainya). Ritual ini, dalam pandangan
            Schweizer, multifungsi; ia menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap
            para leluhur dan tradisi Jawa; ia memperhatikan kewajiban agama—dengan
            memberikan perlakuan yang sama terhadap Muslim sinkretis (kejawen) dan
            Muslim ortodoks (santri) di desa; ia adalah kesempatan untuk makan besar di
            desa; dan ia memperlihatkan nilai kerukunan sosial yang senantiasa dirindukan,
            tetapi tidak selalu bisa dicapai dalam kehidupan sehari-hari. Thomas Schweizer,
            “Slametan, Solidaritas dan Ritualisme Orang Jawa”, Jurnal Gerbang Vol. 07,
            No. 03 (Mei-Juli  2000), 49-60.

            148
   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171   172