Page 78 - pengadaan tanah CNVRT.cdr
P. 78
hanya memperoleh hak sejumlah 40 % saja, sementara 30
% dialokasikan untuk bibit dan 30 % nya lagi untuk disetor
ke pemerintah Jepang sebagai modal dan kekuatan untuk
berperang. Kewajiban masyarakat untuk mengumpulkan
setoran kepada Jepang pada masa itu dibentuk melalui sistem
Tonarigumi (organisasi rukun tetangga yang terdiri dari 10-
20 Kepala Keluarga). Pengambilalihan sektor produksi yakni
pabrik-pabrik gula yang dahulu dikelola Belanda langsung
beralih kepada Pemerintahan Jepang. Pada masa tersebut
masyarakat Indonesia dapat dikatakan secara langsung tidak
mengalami Perang Pasifik akan tetapi sumberdaya alam
dan sumber daya manusia yang ada diperas untuk kekuatan
ekonomi perang dan memenuhi kebutuhan tentara Jepang
untuk berperang (Kompas.com; Fadli & Kumalasai, 2019).
Di masa pemerintahan Jepang pencabutan tanah untuk
alasan militer banyak dilakukan di berbagai wilayah, dimana
pembagian pemerintahan militer di masa itu menjadi 3 wilayah
yakni untuk wilayah Sumatera berpusat di Bukittinggi, untuk
pemerintahan Jawa dan Madura berpusat di Jakarta, dan
untuk pemerintahan militer di wilayah Kalimantan, Sulawesi
dan Maluku berpusat di Makassar (Kompas.com, 2020). Dalam
proses pencabutan hak atas tanah tersebut tidak dikenal
adanya sistem ganti kerugian kepada pemilik sebelumnya
ataupun jika ada disebut sebagai “harga paksa”, tekanan
militer dan perampasan tanah justru sangat kental di masa ini.
Beberapa bukti adanya pencabutan hak tanah yang sebelumnya
dikuasai oleh masyarakat dengan dalih untuk membantu
kemerdekaan Indonesia hingga saat ini masih menyisakan
permasalahan terhadap salah satunya konversi tanah bekas
Jepang dimana pada beberapa wilayah belum terselesaikan.
Perkembangan Pengadaan Tanah di Indonesia 49