Page 21 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 21

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                sedang  asyik  mengadakan  hubungan  luar  negeri.  Bukankah  baru  di
                tahun  1904—setelah  perang  sejak  awal  tahun  1870-an--Aceh  baru
                resmi  berada  di  bawah  kekuasaan  Hindia  Belanda?  Tentu  sekian
                banyak  kasus  lain  bisa  dikatakan  juga.  Tetapi  secara  keseluruhan–
                dalam  perspektif  garis  besar  dari  wacana  kesejarahan  (historical
                discourse)--bisalah  dikatakan  bahwa  menjelang  awal  abad  ke-20
                “Hindia  Belanda”  telah  merupakan  realitas  politik  yang  mencakup
                seluruh  wilayah  yang  kemudian—sejak  bulan  Agustus  tahun  1945--
                dinyatakan  sebagai  keutuhan  yang  tidak  terpisahkan  dari  Republik
                Indonesia.
                       Sejak  masa  awal  kolonialisme  itulah  pula  mata  rantai
                kekotaan  mulai  terentang  dan  bahkan  telah  pula  semakin  meluas.
                Dengan  begini  maka  suatu  corak  ikatan  sosial  yang  barupun  mulai
                pula  terjalin.  Hanya  saja  suasana  kekotaan  itu    bercirikan    sistem
                sosial  yang  bersifat  kolonial--orang  Eropa  berada  di  lapis  atas  dari
                stratifikasi sosial sedangkan “pribumi” berada di landasan. Meskipun
                demikian  di  kota–kota  ini  pula  benih-benih  pemikiran  baru  mulai
                bersemi.  Perbedaan  kelas  sosial  dalam  realitas  pergaulan  semakin
                terasa  juga  ketika  suasana  keterpelajaran  telah  mulai  memasuki
                celah-celah sistem pengetahuan dan kesadaran anak negeri.

                       Tetapi suasana apakah yang secara riil mulai dirasakan  anak
                negeri  dan  harapan  apa  pula  yang  mulai  bersemi  di  kalangan
                mereka?  Maka  sebuah  kasus  yang  agak  menonjol  dari    sebuah
                sebuah  kota  kecil  yang  terletak  di  pantai  Barat  pulau  Sumatra  bisa
                dipakai  sebagai  contoh.  Kasus  yang  terjadi  di  kota  Padang  adalah
                sebuah  contoh  yang  sampai  kini  masih  meninggalkan  bekas.  Dalam
                suasana  ketika  golongan  bumiputra  telah  mulai  sayup-sayup
                merasakan angin segar dunia baru yang diperkenalkan setelah konflik
                berdarah yang dahsyat (perang Padri, 1803-1821--”perang saudara”
                dan    1821-1837—intervensi      kompeni)    dan    pemberontakan-
                pemberontakan  yang  terpencar-pencar  berakhir,  para  terpelajar
                “modern”  menerbitkan  sebuah  majalah  bulanan  berbahasa
                “Melayu”,  Insulide  (1901-1904).  Jika  majalah  ini  sempat    dibaca
                (masih tersimpan di perpustakaan KITLV, yang sekarang telah




                                                                                   9
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26