Page 26 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 26

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                Indonesia di Eropa, yang memakai semboyan  Indonesia Vrij Nu dan
                menerbitkan  majalah  bernama  Indonesia  Merdeka.  Tetapi  pada
                tahun  1928  ketua  P.I.  dihadapkan  ke  pengadilan  Den  Haag,  karena
                dituduh  mengadakan  komplotan.  Maka  sang  ketua,  Mohammad
                Hatta,  mengucapkan  pidato  Indonesia  Vrij—sebuah  karya  klasik
                dalam sejarah pergerakan kebangsaan.
                       Pada  tahun  1926  Soekarno  menerbitkan  artikel  yang
                menyerukan  persatuan  “Nasionalisme,  Islam  dan  Marxisme”.
                Memang pada waktu itu ketiga inilah aliran utama dalam pergeralan
                kebangsaan.  Tetapi  nasionalisme  dan  Islam,  bahkan  juga  Marxisme
                tidaklah ideologi yang utuh. Ketiganya mempunyai nuansa yang bisa
                juga memecah persatuan anak negeri. Tetapi kemudian ternyata juga
                bahwa bahkan perbedaan dalam strategi perjuangan yang terwujud
                dalam  perumusan  ideologi  bisa  juga  memecah  kesatuan  dalam
                perjuangan. Dalam hal strategi perjuangan inilah perdebatan (1930)
                antara  Sukarno  dengan  Hatta  dan  Sjahrir  terjadi.  Bagi  Sukarno
                “persatuan” adalah segala-galanya, sedangkan bagi Hatta persatuan
                hanya  mungkin  terwujud  jika  dilandaskan  pada  asas  dan  strategi
                perjuangan  yang  sama.  Tetapi  ternyata  juga  betapa  sikap  terhadap
                sejarah  dalam  mengayuh  biduk  ke  masa  depan  bisa  juga
                menimbulkan perdebatan.

                       Perdebatan  Islam  dan  nasionalisme  boleh  dikatakan  yang
                paling awal dan yang sampai sekarang masih agak terasa juga seperti
                agak  enggan  untuk  berhenti.  Setelah  perdebatan  golongan  Marxist
                dengan Islam – antara Tan Malaka, Semaun berhadapan dengan HA
                Salim,  Abdul  Muis  dan  Tjokroaminoto,  kemudian  Sukarno,  sang
                nasionalis,  yang  sedang  berada  di  tanah  pembuangan  (Bengkulen)
                terlibat  dalam  perdebatan  yang  bermutu  tinggi  tentang  “Islam  dan
                kebangsaan”  dengan  seorang  pemikir  muda  yang  namanya  sedang
                mulai menanjak (Mohammad Natsir).

                       Apakah  peristiwa  ini  suatu  kebetulan  saja  ataukah
                sesungguhnya  suatu  keharusan  sejarah?  Ketika  para  tokoh  politik
                terkemuka  itu  telah  disingkirkan  dan  perdebatan  tentang  strategi
                perjuangan ( seperti antara Sukarno dan Hatta) atau bahkan tentang



                14
   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31