Page 24 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 24

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                pergerakan  nasional  B.U.  termasuk  golongan  ko-operator—artinya
                bersedia  bekerja  sama  dengan  pemerintah  demi  tercapainya
                “kemajuan” anak negeri. Ketika Volksraad didirikan unsur B.U. selalu
                mendapat kursi.

                       Suasana  serba-tenteram,  demi  kemajuan  ini,  mulai  agak
                terguncang  ketika  di  tahun  1912  Sarekat  Dagang  Islam  menjadi
                Sarekat Islam. Diikat oleh rasa kesatuan agama organisasi yang sadar
                dengan dirinya sebagai “pribumi yang beragama Islam ini mula-mula
                hanya aktif dalam gerakan “kemajuan” (khususnya ekonomi), tetapi
                tidak  lama  kemudian  S.I.  mulai  tergelincir  pada  masalah  politik.
                Bahkan  salah  satu  cabangnya—Semarang—mulai  mempersoalkan
                kelas sosial dan kedudukan ekonomi. Di sinilah semboyan”sama rata,
                sama  rasa”,  yang  dirumuskan  oleh  Marco,  menjadi  seruan
                perjuangan. Sejak itu pula bermulanya “dialog” Islam dan sosialisme
                baik dalam perumusan pemikiran demi masa depan bangsa maupun
                dalam  persaingan  pengaruh.  Hanya  saja  ketika  nasionalisme  dan
                sosialisme telah mengalami proses radikalisasi baik secara ideolog—
                maka  partai  komunisme  pun  didirikan—maupun  dalam  perilaku,
                maka  apa  yang  disebut  “pemberontakan  komunis”  terjadilah  di
                Banten (Desember 1926) dan Silungkang (Januari 1927).

                        Pada  tahun  1913  pemerintah  Hindia  Belanda  memperingati
                terbebasnya  Belanda  dari  pendudukan  kekuasaan  Napoleon.  Tetapi
                mengapa  memperingati  kemerdekaan  di  tanah  jajahan?  Maka
                Suwardi Suryaningrat (anggota B.U. dan S.I, dan salah seorang pendiri
                Indische  Partiji)  menulis  tulisan  klasik-nya,  Als  ik  eens  Nederlander
                was--“kalau  saya  seorang  Belanda”,  katanya,  “saya  tidak  akan
                merayakan kemerdekaan tanah air saya di negeri jajahan”. Seketika
                tulisan  ini  telah  diterjemahkan  ke  bahasa  “Melayu“  (oleh  Abdul
                Moeis)  maka  unsur  nasionalisme  politik  pun  mulai  memasuki
                kesadaran anak negeri.

                        Ketika  itu  Indische  Partij,  yang  dipimpin  tiga  sekawan
                (Douwes  Dekker,  Suwardi,  dan  Tjipto  Mangunkusumo)  telah
                membuat perbedaan yang jelas antara “bangsa Hindia” dengan yang
                bukan. Maka perbedaan antara blijvers dan trekkers--antara



                12
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29