Page 29 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 29

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                Bukankah  di  saat  revolusi  nasional  sedang  bergejolak,  ketika    cita-
                cita nasional sedang diperjuangkan dengan “darah dan air mata” , di
                waktu itu pula apa yang biasa diejek kaum Republiken (yaitu mereka
                yang  setia  pada  Republik  Indonesia  denga  ibukota  sementara
                Yogyakarta)  sebagai  “negara  boneka”  didirikan  di  beberapa  tempat
                oleh  mereka  yang  menganggap  diri  sebagai  penyalur  hasrat
                masyarakat  daerah.  Entah  karena  bujukan  atau  mungkin  juga
                hasutan sang penjajah, dan entah dorongan hasrat akan kekuasaan
                yang  provincialis  atau  karena  faktor  lain,  tetapi  kehadiran  berbagai
                “negara  boneka”  itu  membayangkan  suasana  keretakan  dalam
                kesatuan bangsa. Maka bisalah dipahami juga kalau di suatu saat—
                ketika Konferensi Meja Bundar (Den Haag, 1949) diadakan-- jumlah
                dari  apa  yang  disebut  kaum  Republiken  “negara  boneka”    itu
                ternyata  lebih  dari  dua-puluh  buah,  meskipun  yang  terbesar  dan
                terkuat  tetap  yang  tertua  juga  (Negara  Indonesia  Timur,  Negara
                Sumatra Timur).

                       Di samping itu bagaimanakah bisa terlupakan berbagai corak
                krisis dan perbenturan fisik yang keras antara sesama anak bangsa--
                mulai  dari  apa  yang  disebut  ”revolusi  sosial”  sampai  dengan  yang
                terang-terangan  ingin  mendirikan  ”negara  dalam  negara”  terjadi  di
                saat  bangsa  sedang  menghadapi  ancaman  dari  pasukan  tentara
                bekas  penjajah,  Belanda.  Tetapi  terlepas  dari  soal  siapa  yang  salah
                dan siapa pula yang benar, harus diakui juga bahwa sudah sejak awal
                tahun  1946  berbagai  corak  konflik  internal  telah  mulai  menjadi
                bagian  dari dinamika  revolusi nasional.  Ada  kalanya  konflik  internal
                itu  berdimensi  kecil  saja  tetapi  ada  juga  yang  bukan  saja
                menggoncang ketenteraman masyarakat tetapi juga praktis berhasil
                “mengubah  jalan  sejarah”.  “Perang  Cumbok”  di  Aceh  Timur  (1946)
                menyebabkan  terbunuhnya  sekian  banyak  kaum  uluebalang  dan
                terjadinya  peralihan  dalam  sistem  kekuasaan.  Para  uluebalang
                tersingkir,  golongan  ulama  tampil  sebagai  penentu  arus  politik.
                Sementara  itu  apa  yang  biasa  disebut  “revolusi  sosial”  meledak  di
                keresidenan Sumatra Timur. Sekian banyak kaum bangsawan Melayu,
                penguasa dari beberapa kesultanan, tersingkir dari wilayah




                                                                                   1
                                                                                   7
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34