Page 22 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 22
TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
menjadi milik Universitas Leiden) maka tampaklah bahwa hampir di
setiap nomer majalah yang mempunyai pembantu di kota-kota
utama Jawa dan Sumatra ini tidak lupa dengan pesan utama yang
bernada ajakan untuk ikut melibatkan diri dalam arus “kemajuan”
dan melibatkan diri dalam kegairahan untuk “memasuki dunia
maju”. Keberhasilan Jepang, sebuah negara kecil, mengalahkan
kekaisaran Tiongkok yang besar, 1893, dijadikan contoh tentang
betapa sebuah negara kecil, yang telah menggapai “kemajuan”,
berhasil mengalahkan sebuah kekuatan besar.
Jika kasus wilayah Sumatra Barat dilanjutkan, maka bisalah
dikisahkan pula betapa suasana penuh harapan ini terganggu ketika
pemerintah kolonial memutuskan untuk tidak lagi ”membebaskan”
rakyat Minangkabau dari pembayaran pajak ( “belasting”). Betapapun
para “terpelajar” yang tinggal di kota-kota membujuk masyarakat
Minang agar bersedia membayar “belasting” dengan imbalan
pelebaran jaringan pendidikan. Tetapi masyarakat nagari (desa yang
merupakan kesatuan adat terkecil) tidak pernah bisa melupakan
bahwa sudah sejak berakhirnya zaman Perang Padri--ketika
Minangkabau resmi menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda--
keharusan membayar “belasting” telah dianggap sebagai suatu
penghinaan kultural. Soalnya ialah pada tahun 1833—ketika “masa
damai” sementara berhasil dipaksakan “kompeni”--Gubernur
Jenderal mengeluarkan Korte Verlaring, yang mengatakan “kompeni”
tidak akan memungut pajak, tetapi ingin menjadi pemegang
monopoli kopi. Maka begitulah ketika keharusan pembayaran
“belasting” telah diumumkan Gubernur Jenderal seketika itu pula apa
yang dikenal sebagai “perang anti-belasting (1908)” yang terpencar-
pencar terjadi di banyak tempat. “Perang Kamang”, “perang
Mangopoh”, ”perang Lintau”, serta demonstrasi penolakan di
beberapa kota-kecil terjadi. Kesemua “perang” itu berakhir dalam
suasana tragedi politik dan kemanusiaan.
Sejak tragedi “perang belasting” inilah masyarakat sadar apa
artinya berada dalam suasana kolonial. Sejak itulah perhatian kepada
pendidikan menaik—apalagi diwaktu bersamaan pergerakaan
10