Page 108 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 108
Menjelang senja, Bimo pulang dalam keadaan mabuk.
Rambutnya awut-awutan, matanya semerah saga. Pakaiannya kumal
dan bau. Dengan kasar Bimo memanggil anak dan istrinya.
“Hei, para perempuan. CEPAT SINI!” perintah Bimo tidak
bisa ditawar lagi. Sri tergopoh-gopoh menghampiri suaminya sambil
membawakan kopi panas. Ada rasa iba melihat suami tampak tidak
terurus, kurus, dan lusuh. Nalurinya sebagai seorang istri membuatnya
terus didera rasa bersalah dengan keadaan Bimo.
“LINTANG CEPAT SINI!” suara Bimo mengelegar dengan marah
melihat Lintang tampak enggan memenuhi panggilannya.
Sri memberikan isyarat anaknya untuk mendekat. Tidak ada
gunanya melawan Bimo dalam keadaan naik darah. Wajah gadis yang
mendekati usia 12 tahun itu sekilas membara menahan amarah, tetapi
kemudian luruh dan tampak pasrah. Lintang tidak mau melihat ibunya
kembali disiksa bapak karena dia melawan. Sri duduk bersebelahan
dengan Lintang yang berusaha tidak melihat bapaknya.
“Sri, hari ini aku kalah lagi. Terpaksa aku berhutang pada temanku.
Kau tahu? Hutangku sudah menumpuk dan banyak sekali. Banyak!”
kata Bimo keras. Matanya melihat istri dan anaknya dengan geram.
Bimo butuh pelampiasan kekesalan hatinya. “Sini uang. Aku butuh uang
banyak! Bawa Sini!” seru Bimo tak melepaskan pandangannya dari Sri.
Sri hanya diam membisu. Otaknya terasa sudah tumpul. Tidak
ada lagi yang bisa diberikan untuk suaminya lagi. Harta terakhir sudah
diambil secara paksa tadi siang.
“HEI, KAMU TULI? Jawab pertanyaanku!”
“Pak, jangan kasar! Kasihan ibu..”
“DIAM KAMU!” bentak Bimo memotong kalimat Lintang.
“Pak, tidak ada lagi barang tersisa dirumah ini. Simpanan
yang terakhirkali sudah bapak ambil tadi siang. Darimana lagi ibu bisa
memberikan uang? Ibu tidak ada lagi pak. Sementara Lintang…”
“Huh, sudah kuduga. Kamu tidak punya uang lagi.”potong Bimo
108 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com