Page 110 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 110
dagangan yang bisa dijual seenaknya sendiri. Saya tidak mau,” kata Sri
berusaha menekan suaranya.
“Harus mau! Kamu harus mengikuti perintah suami. Titik.
Tidak bisa ditawar lagi. Ingat nanti malam Joni mau kesini. Kamu harus
siap.”perintah Bimo tidak mau ditawar lagi.
Sri menatap nanar suaminya. Matanya melihat kilatan pisau
di meja. Sri lupa mengembalikan pisau kedapur. Reflek tangan Sri
menyambar pisau. Tangannya mengacungkan pisau tajam kearah
suaminya.
“Saya tidak mau. Titik. Tidak bisa ditawar lagi! Saya masih punya
harga diri. Saya tidak sudi mengikuti perintah suami durhaka seperti
mas,” seru Sri dengan kemarahan meluap-luap.
“Kamu…kamu.. berani melawanku?”
“Terpaksa, mas. Kalau mas memaksa, tidak ada pilihan lain selain
melawan. Saya lebih baik mati daripada harus menjual diri,” jawab Sri
sambil berlinang airmata. Tak ada lagi yang tersisa dalam dirinya selain
harga diri yang selama ini selalu dia jaga. Apalagi yang bisa dia banggakan
kalau sampai dia menjual diri? Lebih baik dia mati atau dia yang akan
mengakhiri nyawa suaminya. Sri merasa tidak ada pilihan yang lebih baik
dari itu.
Bimo merebut pisau dari tangan istrinya. Rasa marah dan harga
diri karena istrinya sudah berani melawan membuatnya semakin murka.
Perebutan pisau terjadi dan berjalan tidak imbang. Sri terbanting
dilantai dengan keras. Tulang belulangnya seakan mau patah saat
badannya berdebum. Dalam keadaan tidak berdaya, tangan Bimo
dengan kuat mencengkeram lehernya. Sri merasa ajalnya sudah dekat
saat dia merasakan nafasnya mulai melemah. Saat itu tangan Sri seakan
mempunyai kekuatan yang bertumpuk. Dengan cepat tangannya meraih
pisau yang tergeletak di lantai.
“Ibu………………..,” Sri tersadar saat suara Lintang mendekat.
Pandangan matanya nanar dan perlahan kabur. Darah membanjiri lantai.
110 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com