Page 118 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 118
bisa menerima Jawi apa adanya, tetapi tidak dengan keluarganya. Saat
hubungan mereka menginjak tahun kedua, saat Jawi mulai dikenalkan
dengan keluarganya, itulah awal dari perubahan dirinya.
“Tidak! Sekali lagi tidak boleh! Ibu dan rama tidak akan ijinkan
kamu berpacaran dengan perempuan yang tingkahnya mirip laki-laki.
Wong wadon kok rambute cendhak. Perempuan apaan itu, tomboi,
nggak bisa masak, nggak bisa nari. Sekali lagi ibu tidak ijinkan! Titik!”
seru Raden Ayu Moestiyah, ibunda Satrio dengan nada tinggi.
Pandangan matanya sinis menatap Jawi dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki. Sungguh bertolak belakang dengan sikap lembutnya saat
pertama kali dikenalkan setengah jam yang lalu. Awalnya Jawi diterima
dengan sangat baik. Tetapi setelah berbincang sebentar dan mendengar
jawaban atau tepatnya menginterogasi Jawi, seketika sikapnya berubah.
Rasa tidak sukanya ditunjukkan terang-terangan.
“Tapi Bu?” protes Satrio sambil menekan suaranya. Matanya
melirik Jawi dengan menahan malu. Ada nada sesal karena ibunya
tidak menyukai perempuan yang mengisi hari-harinya selama setahun
belakangan.
“Satrio, kamu tahu peraturan di sini. Percuma, perempuan seperti
itu tidak akan diterima di keluarga kita,” tekan Raden Ayu Moestiyah
lagi.
“Ibu…”
“Sudahlah Satrio. Benar apa yang dikatakan ibumu. Maaf,
saya permisi,” pamit Jawi sambil beranjak. Meskipun sakit hati karena
perlakuan tuan rumah, tetapi Jawiu berusaha tetap menjaga sopan
santunnya. Ia memang tomboi dan tidak bisa melakukan banyak hal
seperti yang ditanya ibunya Satrio, tetapi soal kesopanan ibu selalu
mengajarkan sejak kecil. Jawi, nama yang disematkan ayah dan ibu
dengan harapan ia tumbuh sebagai perempuan jawa yang halus budi
pekerti maupun tutur bahasa.
**
118 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com