Page 40 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 40
“Maksudmu apa, Lek? Kalau menjemur gaplek ya harus
mengandalkan panas, tho,” Yu Sipon menatap Lastri dengan pandangan
tak mengerti.
“Kalau seperti ini terus, kita kan rugi, Yu,” gumam Lastri, lirih.
Yu Sipon menghela napas.
“Ya, gimana lagi, Nduk? Memang nasib kita,” Mbah Darmi ikut
menimpali, tampak pasrah.
Lastri terdiam. Pikirannya menerawang jauh seakan ingin
menembus hujan yang tak juga reda. Penghasilan sebagai petani kecil
seperti dirinya memang tidak bisa diandalkan. Sepetak sawah warisan
orang tua, merupakan satu-satunya penopang hidup. Dari sawah
itulah, Lastri bisa menyekolahkan Banyu, anak semata wayangnya.
Karman, suaminya, bekerja di kota. Hanya sebulan sekali pulang untuk
memberikan nafkah yang jumlahnya tidak seberapa. Penghasilan bersih
Karman sebagai penjual sego kucing tidak sampai seratus ribu perbulan.
Desa Pencil terletak di kaki bukit Sambeng, lumayan jauh dari
kota. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari sawah
tadah hujan yang hasilnya tidak menentu. Warga hidup dalam kondisi
kekurangan. Hampir semua kepala keluarga merantau ke kota untuk
mencari pekerjaan. Sawah di rumah terpaksa diolah oleh para istri
sambil merawat anak-anak mereka.
***
“Mbok ”
“Apa, Le ?”
Lastri menyelesaikan jahitan terakhirnya. Baju lengan panjang
yang biasa dipakai saat menjemur gaplek kemarin sobek.
“Banyu belum membayar uang buku. Bu guru pesan untuk segera
dibayar,” kata Banyu, lirih.
Lastri menghela napas. Ia sebenarnya tidak sampai hati untuk
mengecewakan anaknya. Tetapi Lastri tidak mempunyai pilihan lain.
40 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com

