Page 70 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 70
Dengan takut-takut Siti mendekat. Hilang sudah harapannya
membelikan obat untuk ibu di rumah. Musnahlah sudah kegembiraannya
untuk segera pulang dan menemani ibu. Dengan menunduk Siti
menunggu perintah dari laki-laki di depannya.
Tangan laki-laki itu terulur menunggu Siti menyerahkan kantong
permennya. Siti menatap ragu-ragu. Ada penolakan dari diriya . Tak rela
kerja kerasnya akan hilang begitu saja. Tetapi tatapan mengancam dari
wajah kejam laki-laki didepannya membuatnya tidak kuasa lagi untuk
menolak. Seringai itu membuatnya tidak berkutik. Siti tidak mempunyai
pilihan lain, hanya ada kepasrahan terpancar dari wajahnya. Siti berdoa
dalam hati dan berharap uang yang sedang dihitung laki-laki itu cukup
untuk hari ini.
“…sepuluh, sebelas, ….duapuluhenam… hah hanya duapuluh
enam. Ingat, kalau sampai hari ini kamu tidak mendapatkan sisanya,
kamu tahu harus gimana. Ingat kerja yang bener. Ku tunggu di tempat
biasa!” kata laki-laki itu sambil melempar kantong bekas permen dengan
kasar.
Siti memungut kantong bekas permennya dengan hati-hati.
Wajahnya mulai menahan tangis. Rasa lapar yang dirasakan sudah
menguap. Dengan tergesa-gesa Siti berjalan, lampu hijau sedang
menyala. Meskipun rasa takut terkena razia menghantui tetapi
ketakutan menghadapi laki-laki itu melebihi segalanya. Bukan perkara
mudah mendapatkan uang limapuluh ribu. Siti harus kerjakeras untuk
memenuhi tuntutan laki-laki itu. Siti dan kawan-kawannya yang masih
berusia dibawah 10 tahun tidak bisa lepas dari cengkraman kelompok
preman yang memaksa mereka bekerja. Seperti anak yang lain, Siti
tidak berdaya. Hidupnya benar-benar hancur dan tidak bisa menatap
masa depan lagi. Pemerintah yang diharapkan mampu mengangkatnya
dari penderitaan ternyata jauh panggang dari api.
Lampu merah menyala. Siti bergegas menjemput rupiah. ***
70 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com