Page 8 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 8
Aku mulai mengerti apa profesi dia yang sesungguhnya.
“O..ya, sus , namamu siapa ?” tanyaku mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Tessy mbak, mudah diingat khan?” jawabnya genit,
mengingatkan aku kepada perempuan malam yang kerja di Pub Intan
yang aku wawancarai kemarin.
“Sus Tessy tinggal di mana?” tanyaku sewajar mungkin untuk
menghindari kesan bahwa aku sedang mendapat ‘mangsa’ untuk
tulisanku. Entah mengapa aku menjadi begitu tertarik dengan perempuan
satu ini, mungkin karena naluri wartawanku yang bicara.
“Kost di belakang Salon Andi, mbak. Biasalah sambil kerja bantu-
bantu di salon kalau siang hari. Habis nggak ada pekerjaan lain yang bisa
saya kerjakan.”
Tessy terdiam. Akupun tak berucap apa-apa. Sesaat suasana
menjadi hening. Hanya tetes-tetes air hujan yang menimbulkan irama
ritme beraturan terdengar.
“Mbak Widya, tolong bantu kami agar bisa diterima di masyarakat.
Semua ini khan bukan mutlak kesalahan kami, juga bukan salah bunda
mengandung. Pekerjaan yang halal susah sekali kami cari, banyak
penganngguran. Padahal kami masih tetap ingin hidup. Akhirnya nasib
kami memang seperti ini, walaupun sebenarnya tidak kami inginkan.
Tapi mengapa masyarakat tidak mau menerima kami?” katanya dengan
nada meninggi.
Aku terdiam mendengar ceritanya. Timbul rasa iba dan simpatiku
kepada Tessy dan kaumku yang bekerja seperti dia. Ya memang selama ini
masyarakat masih sulit menerima Tessy dan teman-temannya. Mereka
dianggap menjijikkan dan sampah masyarakat. Padahal aku tahu persis
bahwa sebenarnya merekapun tak menghendaki hal itu. Muncul tekadku
untuk membantu Tessy semampuku sebagai seorang wartawan.
“Mbak bisa membantu kami untuk mengusulkan ke pak Walikota
tentang nasib kami khan?” katanya dengan binar-binar mata penuh
harapan.
8 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com