Page 25 - Filsafat Ilmu dan Rekonstruksi Teori - Syarifuddin
P. 25
Pengetahuan
Kita dapat menikmati berbagai fakta dan peristiwa sepanjang waktu dan
sejarah hihup kita. Kita dapat mengetahui berbagai realitas itu melalui bermaca-
macam pengalaman yang kita lalui dalam hidup kita. Apakah pengetahuan itu sendiri
terbentuk dalam dirinya dan terbatas oleh apa yang dapat disentuh oleh pancaindra
kita? Apakah pancaindra kita dapat menyentuh realitas itu sesungguhnya? Ataukah
kita hanya meraih fenomena-fenomenanya saja? Ataukah mungkinkah kita
menangkap gambarannya saja? Atau apakah kita punya instrumen yang kukuh
untuk memampukan kita menemukan pengetahuan yang benar itu sesungguhnya?
Apakah pengetahuan itu sesungguhnya? Apakah ada sumber pengetahuan dari
subjek atau dari objek. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian memunculkan
teori-teori pengetahuan.
Dalam sejarah pemikiran filsafat teori pengetahuan ini termasuk salah satu
cabang filsafat yang didalamnya dibicarakan masalah yang berkenaan dengan
hakikat, sumber, cara dan prosedur memperolehnya ataupun yang menyangkut nilai
pengetahuan itu sendiri. Dalam sejarah perkembangan filsafat, Socrates, Plato,
dan Aristoteles sebagai toko tertua dalam perjalanan filfasafat sebenarnya telah
banyak mempersoalkan masalah pengeteahuan ini, namun problema ini baru masuk
dalam sistem tradisi filsafat barat melalui teori kritisisme yang dikemukakan oleh
Immanuel Kant.
John Locke (1632-1704 M), seorang filsafat inggris menyebutkan bahwa
pengetahuan adalah bukti nyata realitas manusia dalam mengisi kehidupannya, dan
karenanya mestilah pula mendapat tempat teratas dalam keseluruhan problematika
dunia filsafat. Pada abad 17-19 M, banyak filsuf yang mencurahkan perhatiannya
pada bidang teori pengetahuan terutama Barkeley, David Hume, dan Auguste
Comte yang mengikuti langkah John Locke. Pengetahuan pada hakikatnya akan
selalu bersifat relasional, yaitu adanya hubungan interdependensi antara subjek dan
objek. Dengan mengetahui subjek akan menjadi manunggal dengan objek.
Kemanunggalannya bukanlah dalam bentuk yang ekstrinsik di mana ada jarak yang
membatasi hubungan keduanya.
Hubungannya sungguh-sungguh mendalam, sifatnya intrinsik di mana
hubungannya tidak sekedar pertemuan antara subjek dan objek, tetapi benar-benar
menyatu dalam suatu kesatuan yang tidak terlepaskan. Penyatuan subjek-objek
dalam pengertian ini adalah mudah dalam implementasinya. Hal ini terutama bila
dilihat dari kesukaran yang ditimbulkan dari pola hubungan ini yang tidak mungkin
akan sempurna yang diakibatkan oleh dominasi masing-masing komponen
disamping masalah lain tidak bisa dielakkan. Problem antara materialisme dan
14