Page 26 - Filsafat Ilmu dan Rekonstruksi Teori - Syarifuddin
P. 26
immaterialisme, dimensi material dan spiritual, induksi ataukah deduksi, objektif atau
subjektif dan masalah-masalah yang berkenaan kebenaran pengeahuan itu sendiri
baik dalam sistem maupun prosedur. Positivisme yang dikembangkan pada awalnya
oleh Auguste Comte misalnya melihat sesuatu yang benar sebatas apa yang dapat
diukur secara ketat oleh indra manusia, tampaknya membawa kesaran yang makin
besar bahwa manusia pada hakikatnya adalah geist in welt. Persoalan yang muncul
kemudian adalah apakah revolusi dunia melalui upaya loncatan dunia material ke
dunia spiritual. Ataukah tidak mungkin justru dari spiritual menuju yang material?
Bahkan mungkin pula datangnya justru secara simultan di mana keberadaannya
keduanya saling mendukung dan selalu berbuat menjadi satu kesatuan yang tidak
akan pernah terlepaskan.
Menurut al-Farabi (w. 950 M), ilmu itu sendiri diperoleh oleh akal manusia
setelah melalui jiwa sensitif dalam hal ini disebutnya dengan pancaindra, jiwasensitif
menyampaikannya ke jiwa imajinatif, kemudian dari sini disampaikan ke akal.
Kemampuan seperti ini disebutnya juga dengan kemampuan kognitif.
Kebenaran
Kendatipun dalam pengembangan pengetahuan, kita arahkan untuk
mencapai tujuan meraih kebenaran dan bahkan kita akan bersedia menghabiskan
banyak waktu dan usia kita hanya semata-mata untuk berjuang mewujudkan impian
kita akan kebenaran itu. Namun demikian kebenaran dalam banyak peristiwa
keilmuan selalu digunakan memiliki makna ganda. Kebenaran secara bahasa
sehari-hari selalu dipertentangkan dengan kebohongan atau dusta, sesuatu yang
memiliki celah salah, keliruh dan ketidak validan. Dalam konteks filsafat, istilah
kebenaran lebih lazim dipertentangkan dengan kekeliruan atau kekhilafan. Dalam
islam, istilah kebenaran diungkap dalam beberapa istilah dengan konteks yang
berbeda yang akan menuju pada makna nilai kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh
dapat dikemukakan disini adalah kata al-haqq kata ini memberikan tekanan
maknanya pada kebenaran yang selalu disandarkan pada sumber dan pemilik
kebenaran yang sesungguhnya, yaitu Allah. Dari sini dapat dipahami bahwa nilai
kebenaran dalam islam memiliki kategorisasi-kategorisasi yang benar-benar
melekat dalam makna kebenaran itu sendiri. Terlihat disini bahwa nilai kebenaran
sangat tergantung pada teknik dan sistem analisis dan pola bangun suatu objek
kajian pengetahuan dalam ragam dimensi dan coraknya.
Dalam konteks kajian filsafat pengetahuan, paling tidak ada enam teori
kebenaran yaitu:
15