Page 140 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 140

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



              keseluruhan dapat dipandang bahwa kombinasi semacam itu dapat berlangsung
              di alam Maluku karena  atmosfir pemerintahan  para  penguasa  di kawasan ini
              cukup kondusif.

                 Masalah yang  paling menimbulkan perdebatan  panjang di kalangan para
              pakar  adalah  tentang kapan Islamisasi  Maluku  mulai berlangsung.  Seperti
              yang telah dikemukakan,  banyak pendapat  yang mengatakan  satu sama

              lainnya berbeda. Namun para pakar sejarah umumnya mengacu pada sumber-
              sumber asing (Eropa), terutama Portugis, yang menetapkan bahwa tahun 1486,
              saat penabalan  Sultan  Zainal  Abidin dari  Ternate,  “resmi” merupakan  awal
              tarikh Islam di Maluku. Pada saat itu, secara politis dan budaya Zainal Abidin
              menanggalkan gelar kolano yang biasa dipakai oleh para penguasa sebelumnya,
              dan menggantinya dengan gelar sultan yang Islami.

                 Dalam  laporannya, De  Clerq menyebutkan  bahwa  pada  1334 dan 1372 di
              Kerajaan Tidore telah naik tahta dua orang kolano, yaitu Nuruddin dan Hasan
              Syah. Keduanya  tidak  menyandang  gelar  sultan,  tetapi  di  belakang  namanya

              terdapat gelar syah atau shah yang menunjukkan bahwa penyandangnya adalah
              penguasa di Persia. Di Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka para penguasanya
              juga memakai gelar syah (seperti Mudaffar Syah, Mansur Syah, dan Mahmud
              Syah). Belakangan di Ternate gelar sultan dipakai bersamaan dengan gelar syah
              seperti Sultan Mudaffar Syah.

                 Bentuk dan motivasi masuknya Islam ke Maluku tidak bisa lepas dari jalur
              pelayaran dan perdagangan dari Malaka dan Jawa. Mengambil titik berangkat
              dari situ, dapat dilihat metode dasar yang dipakai para khalifah, yakni melalui
              aktivitas perdagangan. Namun, kemudian mereka berhasil beradaptasi dengan

              masyarakat dan membangun  komunikasi dengan para penguasa  lokal di
              suatu  wilayah,  dan  juga  menggunakan  mekanisme  kebudayaan  sebagai  cara
              penyesuaian diri secara efektif.  Setidaknya,  dari sudut pandang kebudayaan
              setiap jejak yang  ditinggalkan  Islam di satu daerah  juga meninggalkan  bukti
              bahwa Islam sangat intens berdialog dengan kebudayaan masyarakat setempat.
              Contoh  paling sederhana  bisa dilihat pada   peninggalan masjid khas  Jawa,
              Banten, atau juga masjid khas Maluku (seperti Masjid Wapauwe di Hila/Hitu).
              Titik berangkat itu yang membuat Islam diterima oleh masyarakat di Kerajaan





                                              124
   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145