Page 151 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 151
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
Akibat dari pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain dari luar Maluku, lama
kelamaan masyarakat kepulauan itu mengalami kemajuan kebudayaan dan
menjurus kepada peradaban. Hal itu sejalan dengan dikenalnya cengkih hingga
ke dunia luar, seperti ke Asia Barat dan Eropa. Interaksi antara masyarakat di
Maluku dan para pendatang meningkatan pengetahuan masyarakat itu di segala
bidang. Dalam bidang organisasi sosial-politik, misalnya, semula hanya dikenal
kolano sebagai pemimpin kampung kemudian berkembang menjadi kesultanan.
Pengetahuan tentang keempat kerajaan tersebut dapat diperoleh dari
pelbagai hikayat dan silsilah yang dihasilkan dalam kerajaan-kerajaan itu
sendiri sebelum abad ke-19. Sebagai contoh adalah Sejarah Ternate yang ditulis
oleh Naidah (van der Crab 1878), Kronik Kerajaan Bacan yang tidak diketahui
penulisnya (Coolhas 1923), dan Hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Imam Rijali
(Valentijn 1726/1858). Dari sumber-sumber hikayat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa yang disebut ‘Maluku’ adalah wilayah yang mencakupi keempat kerajaan
yang sekarang termasuk dalam wilayah Provinsi Maluku Utara.
8.2 Kerajaan Hitu
Di daerah sekitar Pulau Ambon telah muncul bandar-bandar kecil yang
memusat atau berkiblat ke Hitu. Pada akhirnya, Hitu muncul sebagai bandar
utama di Maluku Tengah sebelum peranannya diambil alih oleh Ambon
(bentukan VOC Belanda) pada pertengahan abad ke-17. Dalam Hikayat Tanah
2
Hitu disebutkan bahwa Hitu muncul sebagai pusat perdagangan secara perlahan-
lahan antara 1460 hingga 1490. Seperti ditulis oleh Imam Rijali, dalam hikayat
itu disebutkan mengenai asal-usul kedatangan empat kaum yang menjadi cikal-
bakal penduduk Hitu. Keempat kaum itu datang dari tempat yang berbeda-beda.
Kaum yang pertama datang dari pantai tenggara Pulau Seram. Mereka disebut
‘Saupele’ dan ‘Zamanjadi’. Kelompok kedua datang dari Tuban pada 1460 dan
2 Dalam Kakawin Nagarakertagama (14: 5) disebutkan, “. . . Lagi pula, Wanda(n), Ambon atau
pulau Maluku, . . ..” Menurut naskah itu, Ambon telah ada sejak zaman Majapahit (abad ke-
14). Ketika VOC memanfaatkannya sebagai bandar utama, di lokasi itu telah ramai oleh aktivitas
pelabuhan. Kata ambon digunakan Imam Rijali untuk menamakan seluruh pulau itu, dan dipertegas
lagi oleh Rumphius karena nama Ambon sudah digunakan oleh penduduk asli pada zamannya.
Dengan demikian tidak benar jika dikatakan bahwa ‘Ambon’ untuk sebutan pulaunya, sedangkan
‘Amboina’ untuk menamakan kota atau bandarnya.
135