Page 78 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 78

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



              yang lain, yaitu Datuk Abdul Jawad atau Datuk ri Tiro berlabuh di Bone dengan
              menggunakan talibo atau kulit kerang raksasa, dan Datuk Sulaiman menggunakan
              selembar daun buwe atau phasoleus (Matthes 1885: 446, 449, 453; Chambert-Loir
              dalam Perret dan Ramli [ed.] 1998: 52).

                 Kisah-kisah tersebut  tidak  hanya terdapat  di  Sulawesi  Selatan.  Kisah
              pengislaman di Kutai yang dilakukan oleh Tuan di Parangan tercatat memiliki

              kemampuan  menaiki  ikan parangan.  Sedangkan  dalam  catatan  Cabaton
              menyebutkan  bahwa  Sunan  Giri pergi  ke  Ampel  dengan  hanya  menumpang
              sebuah  tempurung  kelapa  yang mengapung  di  permukaan  air.  Sedangkan
              Cosquin mengisahkan legenda tentang Sunan Giri yang ketika bayi dihanyutkan
              di sungai sebagaimana kisah tentang Nabi Musa yang juga dihanyutkan semasa
              masih bayi (Chambert-Loir dalam Perret dan Ramli [ed.] 1998: 53).

                 Kedatangan  ketiga  datuk  tersebut  ke Luwu  membuat takjub  Maqdika
              Bua Tandipau  sehingga  menerima  mereka  dengan  tangan terbuka. Tandipau
              merupakan  bangsawan Luwu  pertama  yang melakukan  perbincangan

              dengan  ketiga  datuk  tersebut  mengenai  berbagai  hal seperti  kebatinan,
              pemerintahan, dan keagamaan. Walaupun Maqdika Bua menerima kebenaran
              ajaran yang disampaikan  oleh ketiga  datuk  tersebut  namun Tandipau  belum
              berani menyatakan diri menerima agama  Islam tanpa  sepengetahuan  Datu
              Luwu. Seperti halnya yang berlaku di negeri-negeri Melayu bahwa melakukan
              perbuatan  tersebut  merupakan  bentuk  durhaka  kepada rajanya  yang  dapat
              berdampak besar bagi dirinya. Tandipau kemudian mengatur pertemuan antara
              ketiga mubalig tersebut dengan Datu Luwu di pusat kerajaan di Malangke pada
              masa itu.


                 Datu  Luwu  XV La  Patiware  Daeng  Parabung  menerima  ketiga  mubalig
              tersebut  yang diantar oleh  Tandipau  ke istana  Luwu.  Setelah  melalui  dialog
              panjang siang dan malam  akhirnya Datu  Luwu  terbuka  hatinya  dan bersedia
              menerima agama Islam. Datu Luwu kemudian memilih nama Sultan Muhammad
              Waliy Muzahir al-Din untuk menunjukkan  dirinya sebagai  penguasa  Islam.
              Peristiwa tersebut terjadi pada  hari  Jumat  bertepatan  dengan 15  Ramadhan
              1013 Hijriah atau berdasarkan penanggalan Masehi jatuh pada 4 Februari 1605.
              Baginda Datu Luwu menyatakan bahwa agama Islam menjadi pegangan hidup





                                              62
   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83