Page 99 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 99

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



               baru. Jika dalam keadaan tidak ada kadi yang terpilih sama sekali barulah opu
               patunru berperan aktif pula sebagai kadi. Hal itulah yang menyebabkan seorang
               opu patunru haruslah seseorang yang tidak hanya memiliki pengetahuan dalam
               pemerintahan  namun juga  harus memiliki  kepandaian dalam  pengetahuan
               tentang ajaran Islam (Mattata 1967: 89).

                   Pada  masa  pemerintahannya,  Datu  La  Patipassaung  Sultan  Abdullah

               didampingi oleh seorang opu patunru bernama Daeng Mangawing yang terkenal
               piawai  mampu dalam  pemerintahan  dan dalam  menyelesaikan  persoalan
               kemasyarakatan. Daeng Mangawing juga terkenal tegas dalam memperjuangkan
               kebesaran kerajaan dan memakmurkan rakyat Luwu. Ia juga memberikan amanat
               mengenai  syarat pengangkatan seorang  opu patunru seperti dinyatakannya,
               Iapa  mulai  patunru  tau  tettongngiengngi  sulapa  eppae,  seuwani  malempuppi,
               maduanna  magetteppi,  matellunna  mattetepi,  maeppana  temmappasilaingeppi;
               terjemahnya, jika datu hendak mengangkat seorang patunru haruslah memiliki
               sifat yang penting  yaitu pertama  adil,  kedua  berpendirian  teguh,  ketiga

               bersungguh-sungguh  atau  sabar  melaksanakan  kewajibannya, dan  keempat
               tidak membedakan orang termasuk dalam pangkat dan jabatan (Mattata 1967:
               82).

                   Dalam perkembangan selanjutnya, hukum dasar yang memasukkan unsur
               ajaran Islam, yang diciptakan Opu Patunru Daeng Mangawing pada masa Sultan
               Abdullah, menggantikan hukum dasar Kedatuan Luwu yang lama. Secara garis
               besar  dasar  hukum  di Luwu  menyatakan  bahwa  patuppui  ri  ade’e,  pasanrei
               ri  sara’e,  muattangnga  ri  rapangnge,  mupatarettei  ri  wari’e,  mualai  peppegau
               ripobiasangnge, atau ‘bersendikan kepada adat, sandarkan pada syariat (Islam),

               jalankan aturan  ketertiban,  bandingkan  dengan  kebiasan-kebiasaan’. Kalimat
               tersebut  mengandung  makna bahwa segala  sesuatu yang hendak dikerjakan
               haruslah terlebih dulu didasarkan pada adat dan berpedoman pada syariat Islam.
               Selain  itu,  perlu  diperhatikan keadaan  yang berlangsung dalam  masyarakat
               termasuk  tata tertib dalam melaksanakan  pekerjaan tersebut  yang  tidak
               bertentangan  dengan kebiasaan yang berlaku.  Namun,  perlu  diperhatikan
               bahwa  walaupun  sesuatu  kebiasaan  atau  tindakan seuai  dengan  adat  tetapi

               tidak sesuai dengan syariat Islam, maka hal itu tidak dapat dilaksanakan. Artinya,
               ajaran Islam  menjadi  dasar pelaksanaan  suatu adat  atau  kebiasaan  (Mattata



                                              83
   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104