Page 94 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 94

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



              Luwu memeluk agama Islam (Mattata 1967: 81).

                 Untuk menjalankan roda pemerintahannya lebih baik,  Datu Luwu
              memutuskan   memindahkan  istana dari Malangke ke Palopo.  Di sana pula
              Datu Luwu memerintahkan membangun masjid pertama di kerajaan tersebut.
              Konon  kabarnya  mesjid  tersebut  dibangun  hanya dalam waktu  satu hari. Hal
              itu menjadi bukti betapa semangat Islam pada masa itu begitu kuat sehingga

              hanya diperlukan waktu yang sangat singkat untuk membangun sebuah masjid
              yang masih bertahan hingga sekarang ini. Pada masa pemerintahan Datu Luwu
              XVI La Patipassaung Sultan Abdullah (1615–37) dikenal sebagai penguasa yang
              bijaksana, adil dan merupakan seorang ahli pemerintahan. Dalam menjalankan
              tugasnya, Sultan dibantu perdana menteri (patunru), Daeng Mangawing yang
              bergelar Mustafa ‘yang paling bersih’ (Mattata 1967: 81).

                 Datu  Luwu XVI  La  Patipasaung Sultan Abdullah  juga  membentuk kembali
              lembaga sara’ atau syariat yang dipimpin oleh seorang kadi untuk mengurusi
              persoalan keagamaan dan berbagai kepentingan umat. Para pejabat sara’ disebut

              dengan istilah parewa sara’ yang terdiri atas seorang kadi atau di Bugis disebut
              kali, beberapa  imam atau  imang, sejumlah bilal,  kemudian amil berdasarkan
              jumlah masjid yang terdapat di wilayah kerajaan. Mereka memegang peranan
              penting dan resmi menangani segala  urusan keagamaan,  seperti salat Ied,
              Maulid, Isra’ Mi’raj di istana. Selain itu para pemuka agama itu berperan penting
              dalam urusan pernikahan kaum bangsawan dan raja termasuk dalam upacara
              kematian raja atau pembesar kerajaan (Mattulada 1976: 37).

                 Lembaga sara’ atau syariat kemudan menjadi bagian dari pranata kehidupan
              sosial-budaya  masyarakat  Luwu  secara khusus dan bagi  masyarakat  Bugis

              dan Makassar pada  umumnya  di  Sulawesi  Selatan. Pranata  sosial-budaya
              ini dinamakan  pangngadéréng yang menjadi  warna  baru  dalam  kehidupan
              masyarakat.  Sebagaimana  telah diajarkan  oleh Datuk  Sulaiman  mengenai
              pembagian  pekerjaan yang  menjadi urusan para pejabat  sara’  sesuai dengan
              kedudukan  sosialnya  dalam  pangngadéréng,  maka  seorang  kali atau  kadi
              menangani tugas di antaranya  menikahkan dan mengatur penyelenggaraan
              rangkaian upacara kematian bagi raja, bangsawan dan kalangan istana. Seorang
              khatib berkewajiban mengurusi  pernikahan dan kematian  raja bawahan dan





                                               78
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99