Page 89 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 89

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



               jika murka. 1

                   Konsep  Déwata  Séwwaé  atau  ‘Dewata  yang Maha  Tunggal’  memiliki
               kesamaan  dengan konsep ke-Esa-an  Allah. Konsep  Dewata  Seuwwae dapat
               diartikan sebagai berikut (Hamid 1988: 4):

               a.  Déq wātang séwwaé artinya tidak berzat, tidak memiliki bentuk tertentu, dan
                   tunggal maknanya bahwa Tuhan itu tidak berwujud, tidak bisa diraba dan
                   tidak bisa dilihat oleh indra kita, Dia Esa dan Tunggal;

               b.  Déq wātang séwwaé berarti berarti tidak ada kekuatan ataupun kekuasaan

                   yang menandinginya hanya Dia yang tunggal;
               c.  Déq  wātang  séwwaé artinya tidak  ada  satupun  kekuatan,  makhluk  yang

                   diciptakannya yang dapat menyamai kekuatan Dia yang Maha Tunggal.

                   Datuk Sulaiman  menyakinkan kepada  penguasa  Luwu, Wajo, dan wilayah
               lainnya yang menjadi tempat penyiarannya bahwa Dewata Yang Maha Tunggal
               adalah Allah Ta’ala, Tuhan sesungguhnya. Dia tidak beranak dan diperanakkan
               dan tiada satu pun yang menyamai-Nya karena hanya Dia-lah yang disembah.
               Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang tak berawal dan berakhir. Syariat dengan
               cara  mengucapkan  syahadatain  menjadi penekanan dan  ukuran seseorang
               memeluk agama Islam pada masa itu. Selain itu, Datuk Sulaiman mewajibkan
               melaksanakan salat wajib lima waktu dan salat Jumat dilakukan bersama-sama

               serta melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

                      Selain itu, Datuk Sulaiman memberikan pelajaran mengenai perbuatan
               yang dilarang oleh Allah dan Nabi Muhammad, antara lain (Ilyas 2011: 439–44),

               1.  Ajaq  muwammanuq-mānuq yaitu janganlah engkau  mempercayai  bunyi-
                   bunyian atau suara yang bermakna baik atau buruk bila mengerjakan sesuatu.
                   Hal itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Bugis dan Makassar yang
                   percaya pada suara binatang yang memiliki makna baik atau buruk. Semisal
                   suara burung hantu di atas rumah menandakan akan ada keluarga terdekat
                   yang akan meninggal dunia atau mendengar ataukah bertemu dengan burung

                   gagak berarti akan bernasib sial atau segera mengurungkan niat melakukan
               1  Namun konsep ajaran déwata séwwaé tidak dikenal dalam naskah Galigo karena dalam naskah
                   tersebut semua dewa yang termuat bukanlah dewa yang tunggal karena semua dewa berketurunan,
                   beranak dan bercucu; lihat Ilyas (2011: 438).


                                               73
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94