Page 84 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 84
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
sulit menerima agama Islam walaupun mereka merupakan masyarakat yang
sangat patuh kepada Datu Luwu kecuali mengenai persoalan kepercayaan. Pada
masa itu pejabat patunru atau perdana menteri kerajaan bernama Mustafa, yang
merupakan seorang cerdik pandai, memasukkan ajaran Islam ke dalam pelbagai
ungkapan ke dalam adat Luwu sebagaimana ia lakukan kepada orang Ussuq
dan Cerekang sebelumnya. Ajaran tersebut memaknai bahwa Muhammad dan
Sawerigading adalah sosok yang satu melalui ungkapan iya muto . . . iya muto
atau ‘dia juga . . . itu juga’ (Mappangara [ed.] 2004: 120).
Namun, yang paling sulit diislamkan dalam wilayah pengaruh Kedatuan
Luwu adalah orang-orang Toraja yang terutama bermukim di wilayah
pegunungan. Mereka sangat memegang teguh kepercayaan lama mereka yaitu
ajaran Aluk Todolo yang mempercayai kehidupan setelah mati dan untuk sampai
kepada proses tersebut diperlukan pengorbanan hewan dan upacara kematian
yang menghadirkan banyak orang. Mereka percaya bahwa orang yang telah
meninggal hanya sedang dalam perjalanan sejenak sebelum memasuki alam
baru yang mereka sebut alam puya yang memiliki kehidupan seperti yang mereka
tinggalkan (Bigalke 1982).
Selain hal tersebut, orang Toraja menganggap bahwa larangan memakan
babi bagi orang yang telah memeluk agama Islam dipandang sebagai bentuk
penghormatan Islam terhadap nenek moyang babi. Hal itu berkaitan dengan
cerita mitos yang terdapat dalam masyarakat Toraja mengenai “Bonggakaradeng
Pandai Besi yang Menghamili Babi” (Gibson 2009: 101–2). Kisah tersebut
menceritakan tentang seorang lelaki bernama Bonggakaradeng yang berasal dari
Desa Batu Tandung yang berdekatan dengan Sungai Masuppu. Dikisahkan bahwa
ia adalah orang berikutnya yang menemukan istrinya dari dalam bambu. Istrinya
bernama Datu Baringan yang bersaudara dengan seekor ular piton. Suatu hari,
ketika Bonggakaradeng sedang berburu di hutan sempat beristirahat di bawah
pohon uru di sebuah tempat bernama Pokka Uru di Buttu Karua, sebuah gunung di
Simbuang. Ketika ia mengencingi sebuah pohon tumbang tanpa disadari dirinya
telah menghamili roh babi yang bersemayam di dalam pohon tersebut. Babi itu
kemudian melahirkan sepasang bayi kembar laki-laki yang diberi nama Buttu
Karua dan Buttu Layuk. Ketika berumur sekitar enam tahun, ibunya menyuruh
mereka mencari ayahnya, Bonggakaradeng, menempa besi. Di sana, keduanya
68