Page 88 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 88
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
hanya karena prestise politik tetapi karena Luwu merupakan pusat mitos di
Sulawesi Selatan (Pelras 2006: 160). Pengislaman penguasa Luwu, La Patiware
Daeng Parabung, dan segenap rakyat di kerajaannya oleh Datuk Sulaiman tidak
lepas dari kemampuannya menghubungkan pemahaman ketauhidan dengan
kepercayaan Bugis tentang Sawerigading. Menurut Pelras, terdapat tarekat di
Luwu yang menghubungkan antara ajaran tasawuf Islam dengan kepercayaan
orang Bugis. Terdapat lontara yang mengisahkan Adam dan Hawa dengan
pasangan yang menurunkan para dewa yang terdapat dalam kitab Galigo yang
menggambarkan bahwa Sawerigading adalah seorang nabi yang sebelumnya
meninggalkan bumi dan telah meramalkan akan turunnya Al-Quran. Bahkan
terdapat pandangan bahwa Sawerigading pernah tenggelan di timur atau di Teluk
Ussuq dan muncul kembali di barat atau di Mekkah. Sinkretisme itu timbul sebab
tidak banyak pilihan akibat persaingan penyiaran agama dengan Portugis yang
juga berniat mengembangkan ajaran Kristen pada awal abad ke-17 di Sulawesi
Selatan. Metode ini dipilih agar para raja dapat menerima Islam sementara
berharap dalam jangka panjang kepercayaan dan ajaran yang tidak sesuai dapat
dihapus oleh para mubalig setelah mereka (Pelras 2006: 161).
4.2 Konsep Ajaran Datuk Sulaiman
Keberhasilan Datuk Patimang mengislamkan Datu Patiware Daeng
Parabung berkat kemampuannya meyakinkan penguasa kerajaan tertua di
Sulawesi Selatan tersebut terutama dalam bidang ketauhidan. Kronik Wajo yang
memuat perbincangan antara Datuk Sulaiman dengan Arung Matowa Wajo
mengenai ketauhidan tampak dapat mewakili perbincangan antara mubalig dari
Minangkabau tersebut dengan Datu Luwu. Perbincangan tersebut membahas
persoalan yang sama yaitu mengenai hubungan ajaran Islam dengan konsep
Dewata Seuwwae yang menjadi bagian dari kepercayaan lama masyarakat Bugis
pada masa sebelum Islam. Sejumlah perjanjian yang berlangsung dalam internal
kerajaan maupun dengan kerajaan lainnya disepakati berdasarkan ungkapan
nasaqbi déwata séwwaé atau ‘disaksikan oleh déwata séwwaé’. Hal itu bermakna
bahwa masyarakat pada masa itu memercayai kekuatan di luar diri mereka yang
menjadi kontrol terhadap perbuatan yang salah dan dapat memberikan hukuman
72