Page 92 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 92
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
4.3 Keadaan Negeri Luwu Setelah Kematian Datuk
Sulaiman
Beberapa waktu setelah wafatnya Datuk Patimang sekitar 1611 dan disusul
oleh Datu Luwu XV, Sultan Muhammad, terjadi kegaduhan politik di Kedatuan
Luwu. Keadaan itu disebabkan oleh penunjukan putra kedua, yaitu Patipasaung
Sultan Abdullah, sebagai Datu Luwu XVI menggantikan ayahandanya. Penunjukan
itu menimbulkan ketidakpuasan dari putra pertama yang bernama Pattiaraja yang
menganggap dirinyalah yang paling berhak atas tahta Luwu karena dialah anak
sulung. Namun, alasan dirinya tidak ditunjuk sebagai pengganti ayahandanya
adalah karena rakyat tidak menyukai perbuatannya yang dikisahkan sering
sewenang-wenang terhadap rakyat. Sifat sebaliknya terdapat pada diri adiknya,
La Patipasaung, yang dicintai oleh rakyat dan memiliki kepribadian yang sangat
penting dimiliki oleh seorang datu atau raja (Mattata 1967: 77–8).
Ketidakpuasan La Pattiaraja, yang bergelar Somba Opu, membuat ia
meninggalkan istana Luwu dan mendirikan ibu kota di Cilallang di tepi Sungai
Paremang yang airnya berwarna merah. La Pattiaraja menyatakan dirinya
sebagai Datu Luwu di sebuah bukit batu yang bernama Kamanre. Dirinya
menganggap keputusan ayahandanya mengangkat adiknya sebagai Datu Luwu
telah melanggar adat. Keadaan itu membuat rakyat Luwu yang berada di sekitar
daerah Ponrang, Bajo, Suli, Larompong dan Pitumpanua merasa resah akibat
klaim La Pattiaraja atas wilayahnya dan dipaksa untuk tunduk kepada ‘raja’
tersebut. Berbagai kekacauan timbul seperti pembunuhan dan perampokan yang
dilakukan oleh pengikut kedua bersaudara tersebut. Keadaan itu menimbulkan
kekurangan pangan karena penduduk merasa tidak aman menjalankan pekerjaan
mereka di ladang dan sawah.
Melihat keadaan tersebut, tiga kepala wilayah adat yaitu Madika Bua, Makole
Baebunta, dan Madika Ponrang, bergerak memperbaiki keadaan dengan berniat
untuk mempertemukan kedua bersaudara secara langsung. Mereka menemui
kepala-kepala adat dan bermufakat untuk menjalankan satu jalan penyelesaian
yaitu mempertemukan kedua bersaudara tersebut secara empat mata di sebuah
baruga yang dibangun di tempat yang bernama Ratona di wilayah Baebunta.
Baruga tersebut dibangun dengan dua buah ‘sapana’ atau tangga yang sama
76