Page 110 - ETPEM2016
P. 110
gwareng, ongkwah-ongkwah dipitineungeun di maneh, iya
rampes, iya geulis.” Terjemahannya, kita tiru wujud patanjala.
Patan berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal
baik kita, bila kita meniru sungai. Terus tertuju pada alur yang
akan dilaluinya, senang akan kelokan, jangan mudah
terpengaruh, jangan mempedulikan hal-hal yang akan
menggagalkan amal baik kita; jangan mendengarkan
(memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan perhatian
pada cita-cita sendiri. Ya sempurna, ya indah (Atja & Saleh
Danasasmita, dalam Ekadjati, 2009:188).
Kedua, etika dari Fragmen Carita Parahiyangan.
Menurut Edi S. Ekadjati (2009:94), Fragmen Carita
Parahiyangan merupakan naskah beraksara dan berbahasa Sunda
Kuna yang berisi sebagian cerita sejarah kerajaan Sunda pada masa
pemerintahan Tarusbawa dan Darmasiksa. Naskah ini disusun
tatkala Prabu Guru Dewataprana alias Sri Baduga Maharaja (Prabu
Siliwangi) baru naik tahta sebagai Raja Sunda yang berkedudukan
di Pakuan Pajajaran. Beliau memimpin kerajaan selama 39 tahun
dari 1482 s.d 1521 M dan sangat populer seperti kakeknya (Prabu
Niskala Wastukancana).
Di dalam naskah tersebut terdapat ajaran etika bagi Tri
Tangtu Di Bwana (tiga penentu di dunia). Ketiga penentu dunia
tersebut adalah Prabu, Rama, dan Resi. Jika ketiga orang tersebut
mengerti akan hak dan kewajibannya masing-masing dan bekerja
sama secara harmonis, maka kerajaan akan makmur dan aman.
Prabu mempunyai kekuasaan besar dalam pemerintahan, tetapi
selalu meminta pendapat kepada Rama dan nasehat kepada Resi
jika akan memutuskan sesuatu yang sangat penting.
94