Page 198 - Jalur Rempah.indd
P. 198
188 REMPAH, JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT NUSANTARA
Palembang dan Jambi mengenai kepemilikan daerah lada Tembesi, dan
antara Jambi dan Indragiri atau Johor pada tahun 1630 tentang perkapalan
di sepanjang sungai perbatasan Tungkal, perluasan kekuasaan Aceh atas
semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera. Sementara itu Aceh masih
menguasai pantai barat sampai Selebar di Bengkulu yang berada di bawah
kekuasaan Banten, dan perjuangan Kompeni Belanda untuk melepaskan
tekanan monopoli Aceh dan Banten.
Sehubungan dengan lada, semua tergantung pada Jambi. Aceh, seperti yang
telah ditunjukkan sebelumnya merosot arti pentingnya menjelang akhir abad
XVI. Para pedagang lada menemukan pesaing baru dalam perdagangan lada
sebagai akibat munculnya kapal-kapal Eropa. Namun ketika kapal-kapal ini
mencoba menghindari pangkalan itu, kemunduran mulai terasa lagi. Sebelum
1603 Aceh telah mengambil lada dari Pidie, Patani, pantai barat Sumatera,
Kedah, Indragiri dan Jambi.
Di pantai barat Sumatera lada pada saat itu hanya tumbuh di Indrapura.
Semua lada yang dibawa dari Pariaman, Tiku dan pantai barat Sumatera
tumbuh di Indrapura di mana raja penguasanya bernama Raja Hitam, yang
konon memiliki 30 ribu orang bawahan dengan tugas menanam lada dan padi
o
untuk memenuhi kebutuhan mereka, jaraknya 2 ½ lebih jauh, kira-kira 20
mil sebelah utara Selebar. Ada tempat yang disebut Menjuta, terletak di tepi
laut di muara sungai Indrapura yang mengalir ke laut. Indrapura juga terletak
18 mil arah darat dari Menjuta. Akan tetapi tidak ada jalur laut selama bulan
Juni dari dan menuju Indrapura. Ada lahan yang baik untuk berlabuh di pantai
barat sekitar lokasi itu, tetapi tidak ada pemukiman sama sekali sehingga
semua lada Indrapura harus diangkut ke Tiku, Pariaman atau Selebar.
Sebagai akibat dari tuntutan yang tinggi, penanaman lada menyebar ke
tempat-tempat lain di pantai barat sepanjang abad XVII. Untuk mempertahankan
monopoli, Aceh mengangkat seorang panglima atau bupati di Tiku, Pariaman
dan tempat-tempat lain dan di Tiku bahkan memiliki sebuah benteng yang
dibangun pada 1621 untuk mengawasi orang-orang Melayu. Pengaruh Aceh
di pantai barat Sumatera tidak bisa diabaikan, seperti digambarkan dalam