Page 182 - BUKU SOSIOLINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA
P. 182

Bahasa dan Kesantunan                                                171

                  menggunakan  ungkapan-ungkapan,  tidak  akan  ada  lagi  kesan
                  merendahkan  orang  lain  dan  dengan  sendirinya  komunikasi  akan
                  berjalan  sebagaimana  mestinya.  Kedua,  menghindari  pemakaian
                  kata-kata  yang  dianggap  tabu.  Pada  kebanyakan  budaya
                  masyarakat,  diksi  yang  berorientasi  seks  atau  kata-kata  yang
                  merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian atau
                  kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan
                  kata-kata  “kotor”  dan  “kasar”  yang  termasuk  dalam  makna  kata-
                  kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-
                  hari,  kecuali  untuk  tujuan-tujuan  tertentu.  Ketiga,  sehubungan
                  dengan  penghindaran  kata  tabu  tersebut,  sebenarnya  kita  dapat
                  menggunaan  gaya  bahasa  eufemisme  sebagai  ungkapan
                  penghalus. Penggunaan gaya bahasa eufemisme seperti ini perlu
                  diterapkan  dalam  berkomunikasi  untuk  menghindari  kesan  yang
                  negatif.  Keempat,  menggunakan  diksi  honorifik,  yaitu  ungkapan-
                  ungkapan  rasa  hormat  saat  berbicara  dan  menyapa  orang  lain.
                  Penggunaan kata-kata honorifik ini sebenarnya tidak hanya berlaku
                  pada  bahasa  yang  menerapkan  stratafikasi  sosial  tetapi  berlaku
                  juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal stratafikasi. Hanya
                  saja, pada bahasa yang menerapkan suatu stratafikasi, penentuan
                  diksi honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis dalam
                  pemakaiannya  untuk  setiap  tingkatan.  Misalnya,  bahasa  krama
                  inggil  (laras  tinggi)  dalam  bahasa  Jawa,  kita  harus  menggunakan
                  jenis  bahasa  itu  saat  berbicara  dengan  orang  yang  strata  sosial
                  dan usianya lebih tinggi dari kita.
                        Jadi, tujuan utama penerapan kesantunan berbahasa adalah
                  untuk  memperlancar  komunikasi  secara  etis.  Oleh  karenanya,
                  pemakaian  bahasa  yang  berbelit-belit,  referen  yang  tidak  tepat
                  sasaran  atau  yang  tidak  menyatakan  yang  sebenarnya  hanya
                  karena enggan kepada orang yang lebih tua, juga dapat dianggap
                  sebagai ketidaksantunan berbahasa. Situasi dan kondisi seperti ini
                  sering  kita  jumpai  di  kalangan  masyarakat  Indonesia  karena
                  terbawa  oleh  budaya  “ketimuran”  dan  mengedepankan  perasaan.
                  Hal  ini  dapat  ditolelir  pada  batas-batas  tertentu  jika  penutur  tidak
                  bermaksud  untuk  mengaburkan  komunikasi  sehingga  orang  yang
                  diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.

                        Kesopanan dalam Berkomunikasi
                        Aspek sosiokultural pemakai bahasa lebih dominan dari pada
                  aspek  kebahasaan  itu  sendiri  jika  dikaitkan  dengan  kesopanan
                  dalam  berkomunikasi.  Pembicara  dan  lawan  bicara  tidak  hanya
                  dituntut  untuk  taat  pada  prinsip  kerja  sama  saja,  tetapi  bahkan
                  keduanya  dituntut  untuk  saling  memahami  saat  berkomunikasi,
   177   178   179   180   181   182   183   184   185   186   187