Page 45 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 45

Pemimpin  bangsa  yang  menguasai  18  watak  di  atas,  sungguh  luar  biasa.
               Pemimpin demikian jelas menjadi dambaan setiap orang. Hanya saja memang hampir
               sulit  menemukan  figur  yang  mampu  mengimplementasikan  delapanbelas  ajaran  itu.
               Setiap  pemimpin  bAngsa  sellau  ada  plus  minusnya  jika  telah  memamsukisebuah
               system.  Namun  paling  tidak apabila  para  pimpinan masih  mengingat  ajaran  itu, tidak
               akan lupa diri. Siapa saja yang hendak menjadi pimpinan kadang-kadang memegang
               teguh ajaran kepemimpinan, namun setelah memimpin sering lupa diri. Watak seorang
               pimpinan yang semula anggun, dapat berubah ketika berhubungan dengan system.
               D. Sifat dan Prinsip Kepemimpinan Jawa
                     Setiap local memiliki gaya kepemimpinan. Gaya (style) juga disebut ala (kredo).
               Bahkan setiap orang memiliki ala kepemimpinan yang berbeda satu sama lain. Yang
               perlu diketahui, orang Jawa sebagai komunitas terbesar di tanah air, juga memiliki ala
               kepemimpinan  yang  khas.  Kinerja  organisasi  di  Jawa  sangat  dipengaruhi  oleh  peran
               pemimpin.  Pemimpin  adalah  motor  penggerak  sebuah  komunitas.  Jika  menginginkan
               kesinambungan  dalam  tumbuh  kembangnya  organisasi  di  masa  depan,  pemimpin
               harus  dipersiapkan  lebih  awal.  Bagaimana  mengidentifikasi  ciri-ciri  pemimpin
               sejati,memang tidak mudah.
                     Sudah  lama  terjadi  perdebatan  tentang  proses  seseorang  menjadi  pemimpin
               (leader)  dalam  masyarakat  Jawa.  Ada  kalanya  masyarakat  membedakan  mana
               pemimpin  ala  Jawa,  Sunda,  Minang,  Bugis,  dan  sebagainya.  Etnisitas  masih  sering
               mewarnai ala kepemimpinan, baik kepemimpinan local maupun nasional. Apakah dia
               sebagai pimpinan merupakan anugerah yang memiliki kemampuan leadership, ataukah
               seorang  pemimpin  merupakan  bakat  yang  diperoleh  sejak  lahir?  Atau,  apakah
               pemimpin  itu  merupakan  hasil  dari  proses  pelatihan  dan  pendidikan?  Pertanyaan
               tersebut  tidak  habis-habisnya  menjadi  perdebatan.  Setiap  kesimpulan  diiringi  dengan
               penjelasan yang dianggap benar. Namun, alangkah baiknya kita tidak terjebak dalam
               polemik yang berkepanjangan itu. Seperti diungkapkan mantan Presiden Direktur BNI
               Securities,  Suryo  Danisworo,  “Tidak  perlu  diperdebatkan  mana  yang  benar,  karena
               tidak ada kemutlakan dalam ilmu manajemen kepemimpinan”.
                     Pendapat tersebut juga ada benarnya, sebab ala kepemimpinan apa pun belum
               tentu relevan diterapkan pada wilayah lain. Memimpin suatu bangsa amat tergantung
               kondisi  yang  mengitarinya.  Dalam  bukunya  bertajuk  Warisan  Kepemimpinan  Jawa
               untuk  Bisnis,  Suryo  menggarisbawahi  bahwa  ada  tiga  hal  pokok  dari  sifat  pemimpin
               yang  kerap  dibutuhkan  oleh  suatu  kelompok  atau  organisasi.  Yakni,  (1)  berada  di
               depan,  (2)  mengayomi,  dan  (3)  mencerahkan.  Ketiga  sifat  kepemimpinan  tersebut
               merupakan  syarat  yang  menentukan  keberhasilan  suatu  komunitas.  Pemimpin  yang
               berani  di  depan,  memberikan  tauladan,  tergolong  mulia.  Sebaliknya,  manakala
               pemimpin hanya bertindak seperti ungkapan “wit gedhang awoh pakel”, artinya omong
               gampang  nglakoni  angel,  kepercayaan  rakyat  akan  semakin  pudar.  Begitu  pula
               ungkapan  “gajah  diblangkoni,  bisa  kojah  ora  bisa  nglakoni,  artinya  pemimpin  hanya
               banyak bicara, realisasinya nol, akan dicemooh oleh bawahan.
                     Buktinya,  di  jagad  pememrintahan  banyak  pemimpin  yang  membawa  bendera
               korupsi,  sampai  menyatakan  “katakana  tidak  untuk  korupsi”,  ternyata  hanya  sebuah
               slogan  untuk  menarik  simpatisan.  Dia  sendiri  akhirnya  masuk  ke  penjara,  gara-gara
               korupsi, dan melanggar kata-kata dia sendiri. Sebut saja Nazarudin, Angelina Sondak,
               Anas  Urbaningrum,  yang  telah  diduga  terkait  dengan  korupsi  wisma  atlit  dan
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50