Page 46 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 46
hambalang, sementara di iklan televisi selalu menyatakan diri dan partainya bersih.
Ironi kepemimpinan ala Jawa demikian telah bercampur dengan gaya lain. Akibatnya
banyak pelanggaran pada dirinya sendiri.
Sikap batin akan selalu mendominasi unsur pemimpin dalam berbagai bidang,
karena segalanya bermula dari karakter dan komitmen. “Unsur sikap batin akan selalu
lebih banyak dari unsur lain yang merupakan kecerdasan atau keterampilan seorang
calon pemimpin. Sayangnya sikap batin ala Jawa, seringkali diterjang sendiri
seenaknya oleh para pimpinan. Akibatnya, nilai-nilai dan etos pimpinan yang menganut
ala kejawaan semakin pudar di mata rakyat. Pada sikap batin “berani” berada di depan,
menunjukkan bahwa pemimpin harus berani bertanggung jawab dan bukanlah orang
yang berkarakter pengecut. Selain itu, konteks “berani” yang ia maksudkan adalah
suatu sikap batin yang sportif, fair, dan wajar. Sebab, menurutnya, pemimpin sejati
adalah orang-orang yang tidak hanya berani tampil di kala kelompoknya senang,
melainkan juga bertanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi sulit. “Dia
(pemimpin) harus habis-habisan untuk melindungi kelompoknya. Apalagi, seorang
pemimpin sejati akan muncul untuk mengambil alih tanggung jawab ketika
kelompoknya dalam kondisi membahayakan.
Jika demikian, dapat diketengahkan bahwa kepemimpinan Jawa sejati setidaknya
perlu memegang teguh nilai-nilai: (1) jujur, artinya penuh dedikasi dan ada niat tidak
membohongi rakyat, (2) wani, artinya diketengahkan bahwa kepemimpinan Jawa sejati
setidaknya berani bertanggung jawa atas segala perbuatannya, (3) temen, artinya tidak
ingkar janji, pemimpin yang terlalu banyak mengobral janji, akan melahirkan janji palsu.
Pemimpin yang ingkar janji, selamanya akan cedera secara politik dan sosial. Memang
harus disadari, bahwa tidak mudah menemukan pemimpin yang benar-benar
memenuhi kriteria berani berada di depan, jujur dalam tindakan, dan tepat janji.
Yang saya alami, seringkali banyak pemimpin yang menyakitkan hati. Banyak
pimpinan yang pura-pura (lamis), tidak menyatakan yang sebenarnya. Pimpinan saya
itu, menyatakan hebat dirinya mampu mengumpulkan uang sedikit-sedikit hingga akhir
kepemimpinannya. Ternyata dia bohong, karena uang yang dia kumpulkan adalah hasil
korupsi. Dia pun menyatakan tidak korupsi, padahal semua warga menyatakan korupsi.
Bagitulah sikap seorang pemimpin Jawa yang penuh dengan “minyak air”, hanya kata-
kata yang licin, lalu membangun pencitraan konyol. Dia jelas tidak memiliki profesi
sebagai pimpinan yang handal. Dengan kata lain, perlu dihitung untung dan ruginya,
untuk memilih pemimpin masa depan.
Perlu diketahui bahwa dalam Serat Sasanasunu pupuh 9 bait 9 gatra 1 karya
Jasadipura II (Sukri, 2004:224) ditegaskan “watak dora memetengi ati, nora kena sira
andelna.” Artinya orang yang bohong itu akan menggelapkan hati, tidak pantas
dipercaya. Jadi, pimpinan yang suka bohong itu hatinya gelap, tidak sepantasnya
diserahi amanah pimpinan. Pemimpin bukanlah pemimpi yang penuh kebohongan.
Pemimpin sejati tidak akan segan mengambil tanggung jawab anak buahnya. Jadi,
jabatan sebagai pemimpin berarti harus berani menerima segala konsekuensi, tidak
hanya kenikmatannya, tetapi juga risikonya karena jabatan pemimpin adalah jabatan
yang mendapatkan privilege. Pimpinan perlu mengayomi bawahan, dan tidak
sebaliknya membuat resah. Bayangkan jika kali ini aka nada kenaikan harga BBM,
ternyata telah menimbulkan kegalauan rakyat. Hal ini menandai bahwa pimpinan lebih
berpikir sepihak, demi keuntungan sendiri saja, tidak memikirkan betapa penderitaan