Page 58 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 58
masyarakat yang menekankan pada kualitas pribadi dan pelayanan umum. Tanpa
tunduk kepada tujuan proyek Orde Baru, seorang pemimpin pedesaan tidak akan
memperoleh jabatan apa pun dalam jenjang pemerintahan resmi. Saling
keterkaitan antara kesetiaan kepada negara dan penampilan pribadi barangkali
tidak pernah begitu tampak dibandingkan dengan ketika terjadi pemilihan kepala
desa, suatu pokok permasalahan yang dibicarakan dalam buku ini oleh Frans
Husken. Proses pemilihan, yang tepatnya disebut screening, memberikan banyak
kesempatan untuk menyingkirkan calon yang tidak dikehendaki. Melalui cara
bermain politik dan penekanan dari komando rayon militer dan wakil-wakil Golkar,
para pemilih diberitahu calon mana yang paling balk untuk dipilih di desa itu.
Meskipun demikian, pada akhirnya penduduk desa memberikan suaranya di
belakang pintu tertutup.
Tapa ngrame,adalah upaya pimpinan untuk membantu dan berbaik hati pada
bawahan. Namun, upaya ini kadang-kadang ada yang tidak murni, sehingga ada
resistensi. Heteroginitas masyarakat Jawa, semakin selektif menghadapi tapa
ngrame. Studi Husken (1998) terhadap pemilihan di desa membuat kesimpulan
dengan catatan yang pesimistis. Hal ini ditandai dengan aneka tapa ngrame yang
merebak, tetapi memiliki dalih khusus. Dalam penelitiannya la menyaksikan
kecenderungan mutakhir. Sekarang hanya calon terbaik kedua dan ketiga yang
menjadi calon untuk pemilihan. Keuntungan menjadi kepala desa berkurang dalam
tahun-tahun akhir ini, dan penduduk desa yang berpendidikan sering meninggalkan
desa mereka, dan mencoba mencari nafkah di sektor yang lebih menguntungkan.
Banyak di antara keluarga penguasa tradisional bekerja dengan sangat baik pada
dekade terakhir ini dan dapat tetap bertahan mendapatkan tanah desa dengan
menyewa tanah bengkok dari kepala desa yang akan datang. Kita hanya sedikit
sekali mengetahui proses yang terakhir ini karena putaran pemilihan kepala desa
baru akan diselenggarakan di Jawa pada tahun 1997-1998. Tetapi jika tahun 1990
merupakan titik penentu dalam konteks ini, seperti yang ditunjukkan oleh Husken,
yaitu bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan untuk menjamin
kepala desa dan pemimpin desa yang lain adalah mereka yang tepat kualitasnya.
Di Jawa Barat selama abad kesembilan belas, sudah merupakan hal yang umum
bagi penduduk desa untuk memilih kepala desa yang bodoh, agar ada jaminan
tetap berlangsungnya kekuasaan dewan sesepuh tradisional. Apakah tahun 1998
akan menyaksikan perkembangan yang sama?
Kalau demikian, tapa brata dan tapa ngrame seorang pimpinan hanya berlaku
pada lingkungan yang homogin. Pimpinan Jawa yang berada erea heterogin, harus
pandai membawa diri. Ini membawa kita ke sederetan pertanyaan yang berkaitan.
Gaya kepemimpinan baru sedang muncul, tidak hanya di tingkat desa, juga di
tingkat nasional. Alternatif apakah yang ada bagi cita-cita aristokrat tradisional dan
bagi tipe kepemimpinan desa yang sekarang? Hanya dua kecenderungan alternatif
bersama yang dapat dipilahkan. Cederroth (2001) menyinggung isu penting yang
lain: faktor agama. Suatu pembagian terdapat dalam komunitasnya, yaitu antara di
satu pihak santri ortodoks, yang terdiri atas Muhammadiyah yang reformis serta
Nahdatul Ulama yang tradisionalis, dan di pihak lain gerakan kebatinan. Sementara
Islam reformis tampaknya mendapatkan tempat pijakan yang luas selama dekade