Page 61 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 61
BAB VI
IDEOLOGI KEPEMIMPINAN JAWA
A. Simbol Ideologis Pemimpin Jawa
Cukup menarik gagasan Geertz (1992:6) ideologi adalah istilah peyoratif dan
evaluatif. Ideologi sebuah cara berpikir yang terlepas dari arah yang selayaknya.
Ideologi Jawa banyak mewarnai pola pikir Jawa, yang terungkap dalam aneka karya
sastra. Sastra adalah endapan ideologiorang Jawa,ketika memikirkan suatu hal. Dalam
puisi Girisa karya Sides Sudyarto, terbersit gagasan pegangan seorang pimpinan. Puisi
ini sebenarnya ambilan dari mantra ruwatan yang dinamakan Rajah Kalacakra. Rajah
berarti tulisan rahasia, kala artinya waktu, dan cakra berarti perputaran waktu. Rajah
Kalacakra berarti bacaan (ayat) rahasia yang dapat mengatasi perputaran waktu.
Waktu, demikian cepat berubah. Karena itu, seorang pimpinan yang memiliki pegangan
Rajah Kalacakra, akan mampu menyesuaikan dan mengatasi gejolak zaman.
Lirik mantra adalah sastra yang unik, memuat fenomena budaya. Goldmann
(Ratna, 2011:343) menjelaskan bahwa dari sisi antropologi sastra, fakta kultural dalam
sastra, adalah fenomena yang telah teruji oleh perjalanan masa lampau. Keterkaitan
sastra, budaya, dan sejarah hidup suatu komunitas (Jawa) tentu tidak terelakkan. Itulah
sebab lirik mantra Rajah Kalacakra tidak lain merupakan refleksi budaya masa lampau,
yang masih bebrharga hingga masa kini. Lirik mantra Rajah Kalacakra tersebut
berbunyi ya maraja jara maya, artinya seorang pimpinan hendaknya mampu menguasai
berbagai hal yang tak kelihatan (tersamar). Dengan mengetahui yang maya (telik
sandi), termasuk di era sekarang adanya deteksi tentang teroris, amat penting. Dengan
adanya Badan Intelijen Negara, juga sangat penting bagi keselamatan negara.
Ya marani nira maya, artinya dalam mendekati hal-hal yang maya tersebut perlu
hati-hati. Hal yang maya, termasuk di dalamnya setan yang sering menggoda pemimpin
amat berbahaya. Manakala pemimpin mampu menakhlukkan setan berarti mampu
menguasai hawa nafsunya. Baik setan maupun hahwa nafsu adalah musuh tersamar
seorang pemimpin.
Ya silapa pala siya, artinya pemimpin perlu mengetahui bahwa lapar itu dapat
mengakibatkan kejahatan (degsiya). Pemimpin harus berani malasiya (menindak tegas)
siapa saja yang berbuat jahat. Tindakan juga harus memenuhi prinsip keadilan, tidak
berat sebelah. Maka, kalau pemerintah menggelindingkan wacana abolisi buat
Soeharto juga harus hati-hati – jangan sampai terjebak pada kubangan kerbau.
Alangkah menjijikkan kalau ini sampai terjadi.
Ya midora rado miya, artinya pemimpin perlu memperhatikan orang-orang miskin
di negaranya. Kemiskinan akan menjadi beban. Karena itu, pemberantasan kemiskinan
di negara kita ini memang harus dilakukan. Jarak si kaya dan si miskin, perlu dijaga
jangan terlalu renggang. Entah itu melalui Jaringan Pengaman Sosial (JPS) atau model
bantuan Sembako. Hanya saja, pemimpin juga harus bersih dan bersedia diaudit
manakala memberikan bantuan kemiskinan. Kalau kali ini pememrintah melalui Menpan
Faisal Tamim sedang memberdayakan hidup sederhana di kalangan pemerintahan,
memang bagus. Artinya, tak lagi pemimpin harus foya-foya mengadakan peringatan
sesuatu yang berlebihan.
Ya dayuda dayu daya, artinya pemimpin harus mampu mengatur strategi
menyusun kekuatan bila ada marabahaya yang mengancam. Keselamatan negara