Page 60 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 60
individualistis. Oleh karena itu, sinkretisme Jawa menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi di masyarakatnya. Baik bentuk sinkretisme yang lama
maupun yang baru merupakan pengungkapan tradisi budaya yang sangat penting,
cukup kuat untuk membentuk kembali dirinya bila menghadapi situasi sosiokultural
baru. Sementara bentuk luar tempat tradisi ini mengungkapkan dirinya sangat
adaptif, landasan ideologis dasarnya tetap mantap dan hanya berubah setapak
demi setapak. Kepemimpinan yang diberikan oleh gerakan kebatinan ini banyak
berbentuk cita-cita Jawa tradisional, seperti loyalitas dan rasa tanggung jawab.
Akhirnya, harus saya nyatakan dari pandangan di atas ternyata nilai-nilai
kejawen sudah semakin luntur. Pimpinan yang memegang teguh konsep konsep
tapa brata, sudah dipertentangkan dengan agama. Anggapan minir pada pimpinan
yang gemar bertapa, di tempat sepi, serta tirakat di gunung-gunung, juga dianggap
remeh. Begitu pula konsep pimpinan yang tapa ngrame, sekarang sudah dianggap
aneh. Orang yang tapa ngrame, dengan dalih menolong, dianggap ada maksud
terselubung. Pimpinan yang membangun aspal misalnya, dianggap dikaitkan
dengan kapitalis dan politik.
Jadi, konteks seorang satria yang bertapa di atas gunung, lalu turun gunung
berubah ke tapa ngrame, sudah tidak lagi dipercaya. Orang selalu memandang
aneh pada pimpinan Jawa masa depan. Yang terpikir dalam hidup orang Jawa, kini
berubah menjadi pimpinan yang memiliki dua sifat, yaitu (1) suci (bersih) dan (2)
tidak neka-neka, sederhana, penuh dedikasi. Kedua sifat itu, sebagai benih agar
pimpinan mulus menjalankan roda pemerintahan, tanpa korupsi. Oleh karena era
semakin terbuka, slogan pimpinan Jawa: resik tur bisa dipercaya, sangat
dibutuhkan.