Page 57 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 57

mengusulkan agar setiap karakterisasi kekuasaan, pemerintahan dan kepemimpinan
               yang  merupakan  aksioma  di  Jawa  harus  ditolak.  Budaya  Jawa  tidak  dapat  dibatasi
               hanya pada ide tentang kekuasaan, dan ide tentang kekuasaan tidak dapat dibatasi
               hanya  pada  masalah  tentang  sosok  teladan.  Tidak  seorang  pun  mengatakan  yang
               lebih  balk  daripada  Eldar  Braten  bahwa:  "Budaya  Jawa  adalah  sekumpulan  ide,
               norma,  keyakinan  dan  nilai  yang  sangat  beragam  sehingga  tidak  mungkin  dapat
               dilukiskan  sebagai  "keseluruhan  yang  padu",  yang  sama-sama  dipakai  oleh  orang
               Jawa. Sebaliknya, perhatian kita hendaknya dipusatkan pada distribusi dan reproduksi
               dari pengetahuan yang demikian beragam di masyarakat". Ina Slamet-Velsink, dalam
               tulisannya, juga mempertanyakan pendekatan kaum esensialis: kita tidak boleh terlalu
               berlebihan memperkirakan kekuatan hubungan patron-klien.
                     Hubungan  patron-klien  ini  yang  sering  mengikat  perintah  halus,  seakan-akan
               bernuansa  feodal.  Kehalusan  orang  Jawa  memang  sering  diragukan,  sebab  sering
               ada yang memerintah dengan tangan besi. Orang demikian biasanya merasa dirinya
               idu geni pancal mubal, artinya segala perintahnya harus terlaksana. Orang semacam
               ini pura-pura berwibawa, biarpun kepemimpinannya sering mendapat serangan halus
               (pating  glendheng).  Kritik  pun  ada,  tetapi  dilakukan  secara  diam-diam.  Peredaman
               suasana sering  terjadi dalam konteks perintah halus.
                     Yang terjadi sekarang jagad pimpinan Jawa, hanya aspek tertentu yang masih
               jalan dengan perintah halus. Ketulusan budi, kehalusan rasa, banyak terjadi pada tipe
               gotong  royong  bila  ada  sripah.  Kematian  bagi  orang  Jawa  masih  mungkin  ada
               perintah halus, hingga masyarakat berdatangan dengan sendirinya. Namun kalau di
               kota,  jelas  sudah  berbeda  suasananya.  Di  dekat  atau  sampingnya  ada  sripah  saja,
               solidaritasnya sudah pudar. Artinya, toko samping masih membuka order. Konteks ini
               menandai bahwa di desa masih lebih indah menjalankan perintah halus. Adapun Jawa
               di perkotaan, sudah kehabisan semangat perintah halus. Di kota sudah ada semangat
               kapitalistik.  Bahkan  di  kota  cenderung  liberal,  ingin  membayar  saja  daripada  kerja
               bakti atau gotong royong.

               D. Kepemimpinan Jawa: Tapa Brata dan Tapa Ngrame
                     Kepemimpinan Jawa  tulen  (asli), memang  masih memperhatikan aspek  tapa
               brata.  Anderson  (1986:53),  menyebutkan  bahwa  pemimpin  sejati  di  Jawa  ditndai
               dengan praktik-praktik tapa brata. Biarpun hal ini ada nuansa Hindu, yaitu praktik-
               praktik  yoga  brata,  pimpinan  Jawa  selalu  mampu  menerimanya.  Hanya  saja  di
               lingkungan  tertentu,  apabila  pimpinan  terlalu  tampak  menjalankan  tapa,  sering
               dianggpa  musyrik.  Akibatnya,  pimpinan  tersebut  dipergunjingkan  sebagai  orang
               yang tidak religious.
                     Namun  demikian,  konsep  pemusatan  diri  seorang  pimpinan  dengan  jalan
               matiraga, sudah mulai pudar. Pimpinan yang bertipe  tapa ngrame, sekarang juga
               mulai  dipertaruhkan.  Dengan  hadirnya  partai  politik  dan  religi,  pimpinan  Jawa
               memilih selamat. Maksudnya, keyakinan pada dewa, tradisi, dan tapa brata segera
               diubah ke partai politik. Celakanya, wibawa politik juga semakin kering. Antlov dan
               Cederroth (2001:20-25) menyatakan bahwa agar tetap hidup di bidang politik, demi
               kekayaan  dan  kekuasaan  dan  bahkan  demi  otonomi  pribadinya,  rakyat  di  Jawa
               harus mengaku setia kepada negara Indonesia, Orde Baru dan Golkar. Kesetiaan
               politik  makin  menggantikan  pikiran  ideal  tradisional  tentang  kepemimpinan
   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62