Page 54 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 54
kekerasan, adu jotos, lemparan bom molotof, penembakan gas air mata,
pentungan kayu, dan sebagainya.
Birokrasi besar ini dan pengawasan setengah-militer merupakan ciri yang
paling mencolok dalam pemerintahan Orde Baru di setiap desa di seluruh Jawa
dan Indonesia. Orde penjajahan otoriter masih terasa di era demokrasi ini. Perintah
halus sudah dikemas dengan daya kekuatan militer dan polisi sebagai tameng
pemerintah, yang harus berperang melawan rakyat sendiri. Sungguh ironis
kepemimpinan kali ini. Bahkan bagi orang yang secara kebetulan lewat, mustahil
mereka tidak melihat papan nama di depan setiap kantor, atau para pejabat
mengenakan pakaian seragam Golkar atau memakai seragam Korps Pertahanan
Sipil. Kebijakan "menjatuhkan pilihan pada yang kuat" ini merupakan usaha aktif
untuk meridukung kelas menengah pedesaan dan perkotaan yang secara politis
sangat penting. Orang-orang ini bertindak sebagai wahana untuk menyebarluaskan
dan mempopulerkan ideologi negara dan mereka berkampanye untuk Golkar dalam
pemilihan umum.
Kekuatan Golkar, kali ini akan muncul lagi dengan gaya perintah halus. Iklan
politik sudah bermunculan dengan ungkapan: Piye le kabare, enak jamanku biyen
ta? Ungkapan politis ini mencoba meraub hati rakyat, untuk melegitimasi kekuatan
politik, bahwa orde baru jauh lebih handal. Setidaknya, rakyat diminta menimbang
dan menilai bahwa jaman orde baru lebih enak, disbanding era reformasi semu
yang berkedok perintah halus. Biarpun ungkapan itu sudah dibalas oleh lawan
politik yang tidak jelas menyebut: Aja kuwatir mbah, jamanku tak tanggung luwih
kepenak. Artinya, jangan kawatir mbah, jamanku saya tanggung lebih enak.
Bahkan lain halnya di jalan Magelang km 1, di tembok sebuah toko ada jawaban
yang cukup mengejutkan ketika di dekatnya ada ungkapan menantang enaknya
orde baru dijawab: Prekkkk!
Sungguh unik dan menarik perang politik kepemimpinan bangsa ini. Yang
perlu dicermati, adalah pernyataan Geertz (2000:126) tentang negara teater di Bali,
ternyata juga berlaku di dunia Jawa. Negara teater, selain berkonteks metafisis
juga berhubungan dengan politik. Dari sisi antropologi budaya, ternyata ritual-ritual
yang dilestarikan oleh penguasa politik, merupakan upaya legitimasi kekuasaan.
Bahkan Jatman (1999:3) menegaskan, di Indonesia kini telah terjadi teater politik.
Aneka perintah halus, kepura-puraan, dan segala permainan politik sering
membingungkan rakyat. Yang jelas, perintah halus yang lebih terselubung,
sekarang semakin terbuka. Sangat boleh jadi, ketika diliput media, saling adu
argument, ketika duduk satu meja,mereka saling bertepuk tangan. Begitulah teater
bangsa ini.
YangPKS yang jelas menolak kenaikan harga BBM di siding paripurna DPR
RI pun tetap mengotot, tidak mau mengundurkan diri. Begitu pula ketua Setgab,
SBY juga ragu mengeluarkan tiga menteri dari PKS. Yang terjadi, hanya perintah
halus yang sudah semakin terbuka, dengan membangun wacana: harusnya
mengundurkan diri. Kaya mengundurkan diri adalah sebuah tes mental dan
screening politik. Hal ini terjadi sebagai akibat perintah halus dan budaya
kepemimpinan Jawa yang anti konflik.
Sekalipun bawahan itu salah, biasanya cara menegur hati-hati. Begitu pula
ketika ada pimpinan yang salah, orang Jawa selalu takut menegurnya. Orang Jawa