Page 55 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 55
lebih senang pada jagad hanya membicarakan (rasan-rasan). Ketika pemilihan
pemimpin pun, apabila tidak suka juga tidak terus terang. Pimpinan yang minta
dipilih pun hanya akan mengatakan minta doa restu (nyuwun pengestu). Sistem
screening pada waktu pemilihan, yang dilukiskan oleh Husken (1998), merupakan
salah satu tindakan yang dipakai oleh penguasa tingkat atas untuk memaksakan
ketaatan. Antlov menyatakan tentang banyaknya surat dan izin resmi yang
diperlukan orang untuk melakukan bisnis dengan dunia luar, surat-surat itu harus
diperoleh di kantor desa. Menyatakan pendapat negatif tentang pemerintah atau
proyek-proyek pembangunan dapat ditafsirkan sebagai kegiatan anti-Pancasila,
dan merupakan kejahatan. Hal ini tampaknya menjadi hal yang lumrah (atau
merupakan ancaman) sehingga orang membuat sebuah kata untuk itu, yaitu
dikoramilkan (dibawa ke komando rayon militer di kecamatan).
Penelitian Husken (1998) sudah amat luas di derah pesisir Jawa,
menunjukkan bahwa pemerintah desa pun banyak yang menggunakan perintah
halus dan anti konflik. Pemimpin desa sering lebih merasa bersaudara (sumadulur)
dengan bawahan, hingga tidak pernah ada upaya memerintah dengan paksaan.
Biarpun demikian, sampai detik ini rakyat sudah semakin cerdas, ketika diperintah
halus, dipancing dengan bantuan-bantuan, membuat jalan tembus, pengaspalan,
dan lain-lain yang intinya untuk menarik hati rakyat.
Kehadiran para pimpinan desa dan negara pada ritual-ritual, merupakan
upaya perintah halus untuk menghindari konflik. Kemauan hadir seorang pimpinan
dianggap anugerah bagi golongan bawah. Hal ini menandai bahwa pimpinan mau
turun ke bawah (tedhak), merasakan jerih payah rakyat, dan dibungkus dengan
nada peresmian jembatan, peresmian pasar, menggunting pita gapura, dan segala
peletakan batu pertama. Rakyat menjadi semakin tergiur dengan perintah halus
semacam itu. Terlebih lagi bagi rakyat yang memang penjilat, hal ini justru menjadi
jalan lurus keberhasilan pemerintahna anti konflik. Konflik ditekan seminimal
mungkin, agar tidak menjadi gejolak besar.
C. Budaya Kepemimpinan Perintah Halus
Kehalusan adalah ciri orang Jawa. Dengan membagi legitimasi bahasa menjadi
ngoko halus dan krama halus, menandai simbol kehalusan budi. Budi bahasa sering
diimplementasikan ke dalam kepemimpinan. Inti kepemimpinan Jawa adalah
komunikaksi. Maka dalam komunikasi sering terdengar kata: punten dalem sewu.
Kata ini sebagai penghalusan untuk mohon perkenan, mohon maaf, dan amit sewu.
Orang Jawa ketika memimpin bukan semata-mata menggunakan kekuasaan,
melainkan kewibawaan. Wibawa pimpinan Jawa, tergantung cara menghimpun,
dengan tradisi-tradisi laku perihatin. Antlov dan Cederroth (2001) menjelaskan
bahwa hubungan antara pemerintahan pemimpin desa sekarang ini dan kedudukan
menurut adat masyarakat pedesaan masih terasa getah feodalistiknya. Maurer
menyebutnya sebagai pola "semi-feodal" hubungan sosial politik, Mulder
menyebutnya sebagai hubungan "paternalistik otoriter", dan Antlov sebagai "ideologi
perintah halus" (ideologi of gentle hints). Sulit untuk memahami terpilihnya dan
keabsahan pemimpin desa di Jawa terlepas dari konsep historis ini. Karena itu
bukan sesuatu yang kebetulan bila para penulis sering menarik garis sejajar antara
pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan kolonial yang lalu. Tulisan Mulder