Page 59 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 59
terakhir ini, revitalisasi Islam bukannya tanpa saingan, terutama dari gerakan
mistik.
Dengan demikian dapat dibenarkan bahwa menurut Moertono (1986:152)
gerakan mistik ini lalu mempunyai manfaat yang riil, karena usaha manusia dapat
ditampung untuk diwariskan kemudian kepada keturunannya atau lingkungan
hidupnya. walaupun orang juga benar-benar menyadari bahwa iradat sebagai
tindakan mistik bukanlah sesuatu yang boleh diremehkan. Iradat adalah upaya
manusia untuk meraih kekuasaan secara sungguh-sungguh, penuh dengan laku.
Laku mistik orang Jawa itulah yang dalam keyakinan agama Islam dinamakan
sufi. Kepemimpinan Jawa pun merasa sah melakukan hal-hal sufistik.
Beberapa penulis menyatakan bahwa Islam, sebagai kekuatan agama dan
politik, tumbuh menjadi kuat selama Orde Baru, dan bahwa pemimpin Islam
mewakili salah satu dari pilihan yang sedikit itu untuk kepemimpinan di masa
depan. Zainuddin (1986:233-236) mengemukakan bahwa gerakan Islam Jawa,
banyak memainkan peran dalam hal kekuasaan. Percaturan agama, politik, dan
kekuasaan sudah semakin kabur sejak era para wali. Keterlibatan agama di kancah
pemerintahan, semakin lama semakin campuraduk. Bahkan (Hefner 1987:548),
misalnya, menyatakan bahwa bagi kebanyakan penduduk desa, diterimanya Islam
sama saja dengan p-Iralihan atas dasar penerangan ke arah modernitas. Menurut
Hefner, rakyat sekarang ini lebih condong untuk membelanjakan uangnya untuk
barang-barang konsumtif, seperti pesawat radio, TV dan sepeda motor, daripada
untuk pesta-pesta ritual tradisional yang dijunjung tinggi (dan menyedot kekayaan).
Oleh karena itu la menyatakan bahwa, sebagai akibat dari proses ini, muncullah
aliansi kepentingan di antara kaum Muslim reformis dan kaum miskin di pedesaan.
Perkembangan menyeluruh selama rezim Orde Baru telah memperkuat
keuntungan institusional bagi kaum Muslim santri. Kaum sinkretis tidak berhasil
menciptakan agama "Jawa" nonIslam yang memiliki pengikut massal dan eksplisit
yang mengarah kepada penyesuaian yang mendalam dalam perimbangan
kekuatan antara Islam dan Kejawen.
Namun studi sekarang ini, termasuk studi Cederroth (2001) sendiri,
menunjukkan bahwa Orde Baru memberikan legitimasi berbagai wilayah, alternatif
Kejawen yang berbasis massa sebagai tandingan Islam santri telah dapat
mengakar. Tampaknya gerakangerakan ini, seperti halnya organisasi ortodoks,
menarik berbagai kelas sosial. Beberapa di antaranya menarik pengikut terutama
dari pegawai negeri dan bagian anggota masyarakat lain yang lebih kaya, selain
menarik pedagang-pedagang kecil dan pengusaha yang mengharap dan
mendambakan masa depan yang lebih balk. Dengan demikian, dalam hal ini, tidak
ada perbedaan: Islam santri dan juga Kejawen menarik rakyat dari semua kelas
sosial. Apa yang penting adalah kenyataan bahwa, setidaktidaknya di beberapa
wilayah di Jawa, telah muncul alternatif Kejawen bagi Islam santri yang berhasil.
Bentuk Kejawen yang disesuaikan ini tampaknya cocok untuk mengungkapkan
nilai-nilai budaya tradisional dan keagamaan dalam situasi sosial ekonomi
sekarang ini.
Dengan demikian, Cederroth menyatakan, sinkretisme Jawa bukan berada
dalam proses disintegrasi. Tetapi apa yang tampaknya terjadi adalah bahwa
perubahan sifat dari yang terikattradisi dan komunal menjadi melihat-ke-dalam dan