Page 56 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 56

menganalisis  ideologi  dan  penggunaan  kekuasaan  di  masyarakat  Jawa.  Berawai
               dari ideal budaya mengenai penghormatan dan kepatuhan terhadap pemimpin yang
               murah.
                     Orde Baru dibentuk melalui acuan budaya dan ideologi Jawa. Mulder mencatat
               bagaimana pemerintah Orde Baru dapat menyatakan diri sebagai pemerintahan yang
               adil dan benar melalui konsep seperti kekeluargaan dan kepentingan bersama. Cita-
               citanya  adalah  bahwa  individu  seharusnya  mengorbankan  kepentingannya  sendiri
               demi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Kepemimpinan Orde Baru membangun
               legitimasi  mereka  pada  stereotip  hierarki  dan  harmoni.  Penduduk  desa  pada
               umumnya, demikian dinyatakan oleh para pejabat pemerintahan, selayaknya tunduk
               kepada para pemimpin desa, justru karena mereka itu menjadi wakil Orde Baru yang
               bermanfaat. "Ketertiban", atau sebaiknya "menghindari kekacauan", merupakan salah
               satu keinginan yang kuat dari penduduk desa. Karenanya, aspek penting dari klaim
               pemimpin mengenai legitimasi di Jawa adalah cara memelihara keadaan yang tata-
               tentrem, sebuah konsep Jawa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda sebagai
               istilah  rust  en  orde  (kedamaian  dan  ketertiban).  Jika  harga  untuk  menghindari
               kekacauan itu terarah kepada penguasa, atau tuntutan kehidupan kelompok, demikian
               menurut  Mulder,  harganya  tidak  mahal,  karena  kelangsungan  dan  keadaan  damai
               merupakan sesuatu yang jauh lebih penting. Hal ini menimbulkan citra kepemimpinan
               yang  militer  atau  feodal,  di  mana  para  pengikutnya  "berkumpul  di  bawah  bendera
               pemimpin  mereka  dan  mereka  itu  diharapkan  betul-betul  loyal  kepadanya".  Tulisan
               Mulder menyediakan sumber untuk memikirkan hubungan yang kompleks antara ide
               dan  praktek  kekuasaan.  Hendaknya  tidak  ada  keraguan  mengenai  hubungan  yang
               erat antara kedua hal itu.
                     Pandangan  demikian,  menurut  hemat  saya  dapat  terjadi  pada  kepemimpinan
               siapa  pun.  Perintah  halus,  biasanya  disampaikan  dengan  penuh  semu  (samudana),
               agar  bawahan  tidak  tersinggung,  merasa  diperintah,  dan  akan  terjadi  perasaan
               legawa  (ikhlas).  Jika  suasana  sudah  legawa,  kepemimpinan  Jawa  menjadi  lurus,
               lentur,  dan  enak  jalannya.  Kekuasaan  pemimpin  di  Jawa  tergantung  bukan  hanya
               kepada  kekuasaan  yang  dipaksakan  dan  birokratis,  tetapi  yang  penting  justru  pada
               bagaimana  pemimpin  itu  memenuhi  citra  ideal  sebagai  sosok  teladan:  seorang
               pemimpin  yang  berjiwa  kuat,  memikat  dan  penuh  dengan  sifat  baik.  Kekuasaan
               sebaiknya dilaksanakan melalui perintah halus dan bukan dengan perintah langsung.
               Oleh karena itu, di sini seperti halnya di bagian dunia yang lain, efektivitas kekuasaan
               diukur  dengan  kemampuannya  untuk  menyembunyikan  instrumennya.  Memolesnya,
               dan bukan memperlihatkan bahwa kekuasaanlah yang menjadikannya pemimpin.
                     Sayangnya, dari waktu ke waktu sudah sulit menemukan keteladanan. Pimpinan
               yang benar-benar seperti Panembahan Senapati, yang mampu amemangun karyenak
               tysing  sesama, artinya membuat enak orang  lain,  semakin  tipis.  Terlebih  lagi  ketika
               pimpinan  Jawa  sudah  terserang  era  politik  praktis,  kepemimpinan  sudah  berubah
               seperti  dagang  ayam  dan  dagang  sapi.  Maka  dalam  berbabai  diskusi  dalam
               lokakarya, terbukti bahwa sejumlah peserta merasa sulit untuk membayangkan suatu
               hubungan  yang  stabil  antara  persepsi  dan  praktek  politik.  Apakah  mungkin
               menggunakan  kata-kata  seorang  pakar  Javanologi  terkemuka  bahwa  "setiap  orang
               memahami  politik  seperti  yang  dibayangkannya"  (Geertz,  1973:313).  Tanpa
               mempermasalahkan  adanya  budaya  politik  orang  Jawa,  para  peserta  lokakarya
   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61