Page 53 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 53

Jadi empat unsur inilah yang perlu diperhatikan oleh negara. Kiranya tidak
               ada  suatu  masyarakat  yang  tidak  mempunyai  ukuran  atau  standar  yang
               dipergunakan untuk mengukur ata u membandingkan tindakan atau sikap pribadi
               anggota-anggotanya. Jika bagi kebanyakan orang syarat itu terletak pada sikap
               yang  rasional,  yang  didasarkan  atas  pengetahuan  yang  "nyata",  maka  bagi
               orang  Islam  ukuran  terletak  kepada  kegiatan  orang  Yang  menunjukkan
               ketakwaan yang mutlak kepada Tuhannya dan taat pada apa yang difirmankan
               oleh  Nya  serta  diperintahkan  oleh  Nabinya.  Orang  Jawa  sangat  peka  akan
               perasaan  bahwa  ia  tidak  hidup  sendiri  di  dunia  ini.  Oleh  harena  keinginan
               mencari hubungan yang baik dengan dunia lain dan di dalam jangkauan yang
                                                                                  *
               lebih  luas  dengan  seluruh  alam  semesta  ini,  juga  sebagai  suatu  cara
               pengamanan  kehidupannya  orang  berusaha  untuk  tahu  akan  segala  sesuattr
               yang  ada  di  sekelilingnya  dengan  cara-cara  dan  peralatan-peralatan  yang
               dipandang lebih halus daripada pancainderanya.
                     Oleh  karena  itu  orang  Jawa  suka  akan  kata-kata  yang  mempunyai  arti
               yang berlawanan terutama bukan dalam arti harfiahnya; tetapi lebih dalam arti
               kiasnya,  kadang-kadang  menuju  ke  arah  pemberian  makna  yang  winadi,
               sinengker atau dirahasiakan.

               B. Kepemimpinan Jawa Anti Konflik
                     Batininiah  kepemimpinan  Jawa,  pada  dasarnya  cenderung  anti  konflik.
               Biarpun  ada  masalah,  sedapat  mungkin  diselesaikan  secara  halus,  tidak  vulgar.
               Perintah halus adalah strategi kepemimpinan Jawa yang anti konflik. Orang Jawa
               enggan melakukan konflik secara terbuka, maka diredam, dibungkus kado secara
               tersembunyi,  hingga  menetas  menjadi  perintah  halus.  Konsep  kepemimpinan  (a)
               dhupak bujang, artinya di dunia rakyat kecil, pemerintahan dengan bernada keras
               perintahnya, (b) esem bupati, artinya pemerintahan cukup dengan perubahan raut
               muka, rakyat sudah paham, (c) sasmita narendra, artinya seorang pimpinan hanya
               member isyarat, bahkan dengan batin, diharapkan lebih halus. Ketiga hal ini masih
               terasa dalam peta pemimpin Jawa.
                     Sampai  detik  ini,  kekuasaan  Jawa  yang  bernuansa  halus,  penuh  sasmita,
               masih  bergema  di  tanah  air.  Hampir  seluruh  pejabat  pemerintah  dan  pejabat
               negara  menggunakan  kepemimpinan  perintah  halus,  yang  sebenarnya  otoriter.
               Perintah  halus  diberikan  untuk  menghindari  konflik  yang  meluas.  Kehalusan
               perintah, yang bergaya raja itu dipoles dengan pura-pura demokratis, yang sering
               diakhiri  dengan  voting.  Bayangkan,  tanggal  18  lalu  DPR  RI  bersidang  ingin
               memutuskan  kenaikan  BBM,  yang  telah  memakan  banyak  korban  demonstrasi,
               tetapi  pimpinan  Negara  tetap  menurutp  mata  (buta),  tidak  mau  menghiraukan
               keinginan rakyat.
                     Itulah getah perintah halus yang dibungkus ala partai politik. Buktinya, hingga
               kini sudah amat sedikit pejabat yang mewakili rakyat, melainkan hanya memikirkan
               golongan  dan  partainya  masing-masing.  Menurut  Antlov  dan  Cederroth  (2001:10-
               12)  nuansa  militer  masih  terasa  di  era  demokrasi  ini.  Pimpinan  negara,  yang
               dibungkus  kejawaan  (halus),  ternyata  tetap  saja  keras.  Birokrasi  kepemimpinan
               Jawa  yang  gemar  menyemaikan  perintah  halus,  sudah  harus  dibayar  dengan
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58