Page 52 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 52
hasil karya sastra Jawa pada umumnya. Kecuali genre sastra Jawa yang
mengemukakan pengetahuan yang bersifat teknis, biasanya termasuk syarat-syarat
keahlian yang perlu diketahui, yang pada umumnya berupa literatur pakem, serat
kawula, katuranggan, serat panutan, maka hasil-hasil karya sastra Jawa sebagian
besar menggambarkan keinginan dani penulis atau penyusunnya untuk
menyampaikan hal-hal yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup atau contoh
sikap (Ian tindak tanduk; wara-wara, cecepengan", kaca benggala. Setiap cerita
selalu diakhiri dengan kata-kata liding dongeng (adapun maksud cerita ini adalah
begini atau begitu). Sifat yang didaktis ini pun tidak begitu jauh daripada sifat magis-
religius yang dilekatkan C.C. Berg, pada tulisan "babad" suatu genre sastra Jawa.
Dengan demikian membaca hasil karya sastra Jawa seharusnya disertai
dengan kemahiran dan kepekaan untuk merlginterpretasikan apa kehendak dan
maksud sang penulis, justru karena kebiasaan orang Jawa untuk mernasukkan
maksud-maksud yang lebih "dalam" daripada kesan yang diperoleh pembaca secara
sepintas kilas. Tanqgap sasmita (kemahiran untuk menangkap apa yang tersirat)
merupakan suatu adu kecakapan sosial yang menguji kemampuan dan kehalusan
persepsi pihak-pihak yang bersangkutan. Di samping digunakannya peralatar~
sastra yang biasa seperti peri bahasa, aliterasi (Ian sebagainya dipakai pula
"sasmita-sasmita" lain seperti pralambang, siklus, zaman maupun kebiasaan-
kebiasaan yang pada umumnya bersifat lokal dan pribadi seperti bermacam tahta.
Dalam membaca dan menahami tulisan-tulisan Jawa perlu diperhatikan pula tema-
-
tema cerita yang sering kita jumpai seper ti lelana atau ngumbara sebagai masa
ujian daripada si pelaku utama cerita, adanya sayembara, hidup mandhita pada
waktu tua, dan sebagainya. Dengan demikian interpretasi tidaklah terlepas
daripada pengertian yang mendalam akan pola-pola pemikiran dan pola
kehidupan masyarakat yang menghasilkan karya-karya sastra itu.
Berpedoman pada pendekatan terhadap sejarah yang bersifat kategoris-
historis tersebut di atas, maka di dalam meneliti kaitan antara budi dan
kekuasaan baiklah kita berpegang pada apa yang ditulis oleh seorang nayaka
bupati keparak di Surakarta, R.M. Hariya Jayadiningrat I dalam karangannya
yang dimaksudkan sebagai pegangan sikap dan tindak-tanduk bagi para pejabat
abdi dalem Raja yang antara lain berbunyi:
lan ana patang prakara
kagunganing kang prajadi
prajurit lawan pandhita
tri sudagar catur tani
prajurit pagering ratu
tani bujaning praja
sudagar buh weh raharjaning pamuja
Yang terjemahannya sebagai berikut.
dan ada empat hal yang
menjadi milik kerajaan prajurit dan pendeta
tiga saudagar empat tani
prajurit pagar bagi kerajaan
petani makan negeri saudagar pakaian negara
sang pendeta memberikan kesentosaan doa.