Page 66 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 66
menaruh perhatian pada anak buahnya, tanpa pilih kasih. Sebagai seorang bapak
atau ibu, akan menanyakan sebab musabab terlambat, tidak langsung memukul atau
menghukum. Pimpinan tepa selira tentu tidak akan semena-mena.
Patron adalah pimpinan. Patron yang memiliki pola piker tepa selira, tentu akan
melindungi bawahan. Oleh karena, pimpinan akan merasa terancam dirinya jika
tidak mau melindungi bawahan. Jadi patron merasa sebagai pelindung dan
beawahan akan menjaga atasan, menandai tepa selira yang amat tinggi. Seseorang
memerlukan patron, pelindung di luar lingkungan rumahnya. Patron demikian ini
harus banyak akal dan mampu menarik dan melindungi pengikut. Semuanya berbagi
di dalam kepentingan bersama: jika pelindungnya tumbuh subur,, demikian pula
kliennya. Perlakuan patron terhadap klien (bawahan) yang diiringi semangat tepa
selira akan memuncul suasana saling simpatik. Kiritik boleh saja dilakukan oleh
keduabelah pihak, namun semangat mau mengukur diri, introspeksi, selalu
mendasarinya.
Justru karena sifatnya, patronase menjadi hierarkis, mengikat orang menjadi
satu dalam ikatan pribadi dengan nilai moral dan material yang tidak sama, di mana
yang lebih tinggi memperhatikan dan yang di bawah taat dan menurut. Inilah potret
hubungan tepa selira, artinya saling menghargai, saling menghormati, dan muncul
empatik. Kondisi empatikmenandakan bahwa hubungan patron-klien lebih damai dan
nyaman. Dengan menjadikan pemimpin itu pengasuh, orang ditempatkan ke dalam
kedudukan sebagai anak-anak tang inisiatifnya harus dibatasi.
Ideologi tepa selira akan membangkitkan perasaan kagum dan cinta (wedi-asih),
yang lebih tinggi harus menunjukkan simpati (tepa selira) terhadap yang rendah.
Rasa simpati demikian tidak diinginkan bersifat timbal-balik, karena dengan tepa
slira, yang berarti mengukur menurut ukuran diri sendiri, perbuatan seseorang akan
mengakibatkan perbuatan orang lain, maka bagaimana seorang bawahan mengukur
dirinya sebagai mengambil keputusan, kebijaksanaan dan tanggung jawab.
Kepemimpian tepa selira dapat membekali seorang pimpinan agar selalu mawas diri.
Kelemahan dan kelebihan adalah hal yang wajar, dapat terjadi pada siapa saja. Apa
yang terkait dengan klien adalah mawas diri, dan benar-benar tidatk menyenangkan
jika seorang pemimpin tidak lagi memiliki kehormatan.
Pemikiran tentang kepemimpinan ini berdasar atas konsep moral tepa selira
yang sama yang dipakai untuk mengatur hubungan kekeluargaan; di dalamnva,
ketidaksetaraan menjadi kategori moral itu sendiri. Tepa selira berada dalam asuhan
seseorang menempatkan si penerima berada di bawah kewajiban moral (utang
budi). Tidak mengakui utang yang demikian itu benar-benar tercela, hal itu berarti
moralnya rusak. Ketidaktahuan hutang budi berarti akibat tidak tahu tepa selira.
Pimpinan yang menentang tepa selira,biasanya akan mendapatkan resistensi dari
berbagai pihak.
Dalam pendidikan Jawa anak-anak muda dianggap sebagai durung Jawa,
belum menjadi orang Jawa (dewasa), ketika menjadi pimpinan belum mampu
bertindak tepa selira. Melalui sosialisasi mengajar dan belajar hidup tepa selira
diharapkan mereka akan menjadi Jawa (wis Jawa), sudah menjadi orang Jawa
(sudah dewasa). Kurang mendapat pelajaran (ani harfiah kurang ajarj sudah
barang tentu menuju ke arah perilaku kurang sopan santun). Pertanyaan untuk
direnungkan adalah apakah model dan ideologi keluarga dapat diterapkan pada