Page 68 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 68
yang terlepas dan partisipasi politik, dan dengan demikian mereka tidak dapat
dianggap bertanggung jawab terhadap berhasilnya pekerjaan secara keseluruhan.
Mereka tidak benarbenar ikut serta sebagai anggota keluarga yang sadar akan
kewajiban tetapi diharapkan untuk menjalankan perintah dan patuh.
Penduduk dianggap sebagai sekumpulan individu, mungkin terorganisasi
secara kabur dalam bentuk golongan "fungsional" yang bersama-sama membentuk
suatu masyarakat yang diwujudkan, diwakili dan dikuasai oleh seorang raja yang
juga merupakan pelindung yaitu Negara yang tak lain adalah Pemerintah.
Menentang bangsawan yang agung tidak pernah dibenarkan, sebab
keseluruhannya mewujudkan kebenaran dan bersama dengan itulah para individu
harus bersatu. Dengan demikian yang terbaik adalah jika semua anggota individu
diberitahu mengenai maksud dan kehendak, yang didorong oleh keinginan mistik
nranunggaling kamula-Gusti, menjadi satu dengan Sang Tuan.
Bentuk kepemimpinan politik yang "paternalistik" otoriter cocok dengan cara
bagaimana masyarakat itu dipandang dan dirasakan kritis atau bertindak sendiri,
dianggap sebagai "pemberontak" (duraka; mbalela). Dalam hal terhadap orang tua,
perilaku yang demikian itu akan dihukum oleh alam gaib, dan dalam hal yang berat,
jika dirasakan bahwa nama balk keluarga dilukai, orang tua bahkan mungkin
menyumpahi anak yang bersangkutan, memutuskan silaturahmi karena perilaku yang
menjengkelkan tersebut menyangkut status sosial orang tua dan harga diri dan juga
mempengaruhi keseimbangan psikologis dan kesejahteraannya.
Harga diri dan reputasi sangat erat terkait, dan konflik, atau perilaku berontak
yang dapat diketahui oleh orang lain, adalah, sangat menyakitkan. Bukan hanya
karena perilaku tersebut membahayakan status keluarga, tetapi juga karena ia
menunjukkan bahwa orang itu dalam keadaan labil, tidak bersatu dan bukan dalam
keadaan serasi (rukun) sebagaimana seharusnya. Betapapun para tetangga mungkin
tidak suka melihat hal ita dan suka menggunjingkannya, tidak diragukan lagi bahwa
konflik terbuka sangat tidak disukai. Keadaan demikian itu memperlihatkan kelemahan
karena tidak mampu hidup dalam keadaan yang menyenangkan.
Kekacauan dalam bentuk konflik terbuka, protes, atau kecaman dengan
langsung mencerminkan kekuasaan seorang pemimpin, memperlihatkan
kekurangannya, dan dengan demikian tidak dapat dibiarkan. Sebagai tanda bahwa la
tidak mampu membuat mereka yang menjadi pengikut terkendali dan tertib, keadaan
tersebut mengancam nama baiknya dan menimbulkan momok cemoohan orang - hal
terburuk yang harus ditanggung. Tidak dihormati berarti diragukan kewibawaannya,
wataknya dan kemampuannya. Itu sangat merendahkan martabat. Jika mahasiswa
berdemonstrasi, atau pekerja mogok, nai itu tidak segera dipahami sebagai ajakan
untuk mengadakan diskusi serius; sebaliknya, itu menunjukkan bahwa dewanlah yang
gagal, bahwa pemerintah atau majikan diremehkan - namun itu pula yang
mencerminkan keadaan pemrotes sendiri, konflik terbuka dianggap tidak bagus di
mana-mana. Meskipun demikian, ditinjau dari atas, protes adalah mengancam, tidak
menyenangkan, dan pernyataannya yang terbuka harus dibungkam.
Sementara orang kuat, bahkan dalam masyarakat di mana hierarki tidak terlalu
sentral, cenderung tidak toleran terhadap oposisi, oposisi di Indonesia juga bukanlah
ajakan untuk berdialog. Parlemen tidak berfungsi selain sebagai cap bagi pihak
eksekutif. Karena itu, mahasiswa diancam dengan tank, tokoh-tokoh ternama yang