Page 73 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 73
keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan material biasanya diutamakan, bukan
kepuasan batin. Memang akhirnya tidak mudah menemukan pemimpin sejati. Yakni
pemimpin yang benar-benar ikhlas, penuh kesungguhan hati dalam mengabdikan
dirinya. Jika dahulu ada pemimpin berjiwa sepi ing pamrih rame ing gawe, artinya
memimpin tanpa pamrih, tetapi banyak bekerja secara tulus. Pemimpin demikian
adalah lebih mulia. Dia adalah pemimpin yang layak dihargai.
Jika pemimpin ada imbalan, itu wajar. Setiap orang bekerja, aada imbalan tentu itu
sebuah konsekuensi. Yang tidak wajar itu,manakala pemimpin berharap imbalan lebih
besar dari tenaga yang dikeluarkan. Jika imbalan yang diterima melebihi kewajaran,
dicari-cari, inilah pemimpin palsu. Pemimpin semacam ini dalam konteks budaya Jawa
disebut rame ing pamrih sepi ing gawe. Artinya, menjadi pemimpin hanya beroya-foya,
ada maksud untuk menggerogoti harta bawahan, tetapi kerjanya tidak meyakinkan
(pecus). Gaya pemimpin semacam ini penuh pamrih, sedikit aktivitas. Yang
dipentingkan adalah dirinya sukses.
Suwarni (2010) dalam artikelnya tentang kepemimpinan Jawa dalam naskah
Jawa, banyak membahas pemimpin sejati. Dia menyatakan dengan isitilah bijak
sebagai pemimpin. Pemimpin sejati, tentu harus bijak. Menurut dia, bangsa Indonesia
mencari pemimpin yang bijak, mengabdi kepada rakyat dan merakyat. Konsep
kepemimpinan bangsa yang didambakan rakyat terdapat dalam berbagai pustaka lama
khususnya pustaka Jawa. Konsep tersebut dituangkan dalam bentuk cerita, seperti
Ramayana, Babad Baratayuda, Babad Majapahit, Pararaton, dan berbagai serat
piwulang (Wulang Reh, Wulangpraja, Ajipamasa, Panitisastra, Slokantara) dsb.
menyajikan berbagai konsep citra pemimpin bangsa.
Dari berbagai karya sastra wulang dapat diketahui, bahwa banyak ajaran
pemimpin yang tanpa pamrih dan banyak pamrih. Kedua gaya kepemimpinan itu selalu
ada di semua jaman. Pamrih adalah dorongan (nafsu) yang mengajak para pimpinan
bermain api ibaratnya. Pemimpin yang gemar bermain api, dalam memimpin biasanya
penuh (1) main-main, (2) memainkan, dan (3) ada main. Dia gemar main di atas
penderitaan rakyat, demi keluarga dna kroninya. Inilah pemimpin yang masih menaruh
pamrih dalam urat nadinya.
Babad Bharata menunjukkan sikap pimpinan yang agung, antara lain ditunjukkan
oleh tokoh Parikesit putra Abimanyu, asuhan ki lurah Semar, dewa yang
mangejawantah dan merakyat. Menurut hemat saya, tokoh ini memang bijak, namun
masih sering menggunakan nafsu juga. Dia pernah marah ketika melakukan
anjangsana ke hutan, ada seorang pendeta bertapa ditanya tetapi diam saja. Manakala
pemimpin masih sering marah, itu jelas belum masuk kategori pemimpin sejati.
Pemimpin yang sering marah akan menyebabkan rakyat jengkel dan antipati. Oleh
sebab itu, untuk menjadi pemimpin sejati memang harus mampu mengendalikan diri.
Babad Majapahit dan Pararaton mengungkap kepemimpinan raja-raja Singasari
dan Majapahit, di bawah asuhan Nayagenggong dan Sabdapalon, serta peran Patih
Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara, dengan Sumpah Palapa.
Kepemimpinan Singasari, ternyata berjalan dengan kekerasan. Yang terjadi adalah
hadirnya sikap balas dendam, hingga memunculkan hokum karma yang harus dibayar
dengan darah. Kematian Tunggul Ametung, Ken Arok, Anusapati, dan Toh Jaya,
sungguh tragis. Banjir darah yang menurut mitos sebagai kesalahan empu Gandring itu,
banyak mendatangkan korban.