Page 78 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 78
Seringkali perbuatan pimpinan Jawa akan mengenai (numusi) pada
keturunannya. Oleh sebab itu, karpa pala yang semula berasaldari paham Hindu,
sampai saat ini masih terasa. Pimpinan yang terlalu keras, semena-mena
terhadap bawahan, akan menerima akibatnya. Hukum karpa, yang terungkap
dalam unen-unen Jawa sapa gawe nganggo sapa nandur ngundhuh, artinya siapa
yang berbuat jelek akan menerima akibatnya, semakin sulit dibantah. Bahkan
suatu saat pimpinan yang bertindak dengki dan dendam pada bawahannya, suatu
saat dia akan mendapatkan balasan (keweleh). Keadaan sering yang akan
memberikan jawaban pada balasan perbuatan.
Keweleh dapat terjadi pada pimpinan apa saja, ketika tindakan dirinya
kurang control. Pimpinan yang tangan besi dan merasa sok paling hebat, paling
benar, dan paling bersih, akan terpeleset pada keadaan keweleh manakala
kurang mampu mengevaluasi diri. Yang celaka lagi jika perbuatan pimpinan itu
akibatnya jatuh pada keturunannya, sungguh memalukan. Kepercayaan bahwa
perbuatan baik dapat diaktualisasikan hasilnya untuk kepentingan keturunan kita
kelak memang benar. Namun jika pimpinan berbuat jelek, akan hina jika karma
pala dan keweleh jatuh pada keturunannya. Konteks keweleh itu dapat datang
dari arah mana pun.
Untuk menanggulanggi konteks pimpinan yang keweleh memang belum ada
obat mujarab. Jika keweleh ini dibiarkan, pimpinan akan kehilangan kesadaran
diri. Mungkin sekali, dia akan kehilangan panggung kepemimpinan dan akhirnya
ngenes, artinya hidup juga tidak mati juga tidak. Maka, salah satu jalan penting
bagi dia adalah melakukan konsentrasi batin. Jika laku melatih dan mengarahkan
manusia untuk mempertinggi budinya, agar mencapai tingkat kesadaran dan
dengan demikian kemurnian dan kesucian yang makin tinggi, maka laku juga
mengakumulasikan kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang
makin besar. Akibatnya rasa keweleh akan sembuh sedikit demi sedikit, dan
memakan waktu yang relatif panjang.