Page 80 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 80
dilakukan melalui praktik-praktik yoga dan bertapa yang sangat keras. Walaupun
praktik-praktik yoga berbeda-beda bentuknya di berbagai daerah Jawa,, termasuk
berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual, pemumian
ritual dan mempersembahkan berbagai sesaji, terdapat satu gagasan pokok yang
mendasarinya. Semuanya dimaksudkan untuk memfokuskan atau memusatkan
hakikat asli.
Orang Jawa senantiasa berwasiat agar “cegah dhahar lawan guling”, artinya
mencegah makan dan tidur, sebagai perwujudan laku perihatin yang memuncak.
Untuk menjadi pimpinan memang perlu perihatin, agar jauh dari tindakan korupsi
dan nepotisme. Untuk itu, para pimpinan melakukan konsentrasi batin, mengurangi
hawa nafsu, agar terjadi keseimbangan diri. Tuntutan terbaik untuk menghayati
garis-garis besar konsepsi itu mungkin adalah gambaran suatu suryakanta atau sinar
laser, di mana pemusatan cahaya yang luar biasa menciptakan curahan panas yang
luar biasa. Analogi ini amat tepat, karena dalam pelukisan klasik dalam kepustakaan
Jawa, bertapa yang amat keras memang mempunyai kemampuan untuk
menimbulkan panas fisik. Orang Jawa percaya bahwa para pembuat keris
legendaris di zaman dulu mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi,
dengan pamomya yang indah itu, hanya dengan panas yang terpusat dalam ibu jari
mereka. Para empu memang banyak laku perihatin, seperti Empu Gandring yang
membuat Keris Empu Gandring di jaman Ken Arok. Para pembuat gamelan Jawa,
seperti Empu Jena, tentu dengan laku. Bahkan jaman Soeharto pun sring datang ke
Jambe Pitu Cilacap, akhirnya bisa 32 tahun berkuasa. Jadi kekuasaan memang
identik dengan laku spiritual Jawa.
Dalam cerita wayang pada bagian gara-gara yang khas di mana seorang
pertapa yang tak dikenal namanya sedang bersemadi, maka perwujudan yang paling
menyolok dari konsentrasinya adalah, seperti dikatakan sang dalang, lautan mulai
mendidih dan bergolak. Arti kejiwaan dari bertapa seperti itu bukanlah sekali-kali
penyiksaan diri dengan tujuan-tujuan etis, melainkan hanyalah dan semata-mata
untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan seorang pemimpin dalam Serat
Arjunawiwaha, juga dibayar mahal dengan bertapa.
Menurut tradisi ortodoks, bertapa mengikuti hukum kompensasi yang
fundamental bagi rasa orang Jawa tentang keseimbangan kosmos. Jadi mengurangi
diri sama artinya dengan mengekang hawa nafsu. Orang percaya bahwa banyak
keris mengandung endapan-endapan kekuasaan dan amat dicari orang, sekalipun
cara pembuatannya tidak begitu indah. Untuk keterangan panjang lebar tentang
arti keris secara simbolis dan sosial. Seperti diketahui, adegan gara-gara itu, di
mana tata tertib dan ketenteraman alam semesta terganggu, menjadi salah satu
bagian klimaks dalam pertunjukan wayang kulit.
Untuk membesarkan diri dengan cara bermatiraga; dan sebagaimana akan kita
lihat nanti, dengan paradoks khas Jawa, membesarkan diri (dengan pengertian
ketamakan pribadi atau memanjakan diri sendiri) menjadi sama artinya dengan
-
mengurangi diri sendiri (dengan penger tian hilangnya kekuasaan atau hilangnya
konsentrasi). Konsepsi mengenai pemusatan yang mendasari praktik matiraga, juga
rapat hubungannya dengan gagasan mengenai kemumian; sebaliknya, gagasan
-
mengenai ti adanya kemumian rapat pula hubungannya dengan pemencaran
(diffusion) dan disintegrasi. Kenikmatan-kenikmatan duniawi tidak tentu pertama-