Page 85 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 85
publik, dan mendapat berkah moralitas; dan (2) Pemimpin dengan orientasi ke atas
dan keluar. Pemangku jabatan seperti itu ditetapkan dengan mandat secara rsmi,
dibebani dengan tugas-tugas administratif dan tertarik karena akses terhadap
sumber daya negara.
Tipe (1) itu sekarang sedikit jumlahnya, kecuali pimpinan yang berasal dari
area informal, seperti sesepuh desa. Sesepuh biasanya diangkat masyarakat karena
moralitas dan tanggung jajwabnya. Pimpinan semacam ini tidak mendapat imbalan
upah. Berbeda dengan tipe (2), selalu ada unsur take and give, bersifat resmi, dan
selalu ada untung rugi yang dipikir dalam tindakan. Pemimpin dengan orientasi
moral merasa bahwa tanggung jawab utama mereka adalah mewakili masyarakat
dan melindungi penduduk desa dari pengaruh luar. Mereka menganggap dirinya
sebagai perantara di antara negara dan penduduk desa. Dengan demikian mereka
berusaha untuk menyuarakan kepentingan rakyat desa, dan berusaha mendapatkan
persetujuan rakyat sebelum melaksanakan program pembangunan pemerintah.
Idealnya, seorang pemimpin moral adalah orang terpandang di desa itu yang
mendapat kepercayaan dari, dan memiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat
desa, yang dilayaninya dan yang hidup bersama-sama dengannya. Tetapi sekarang
ini kebanyakan pemimpin desa, termasuk mereka yang memiliki ikatan moral pribadi
yang kuat, terpaksa mengurangi rasa tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Hal
ini karena prosedur pengangkatannya, kewajiban administratifnya dan tuntutan-
tuntutan lain yang disampaikan kepadanya oleh negara.
Menurut hemat saya, pimpinan yang bertipe moral sekarang sudah amat luntur.
Pemimpin lokal diminta oleh atasannya untuk menjalankan kebijakan yang tidak
selalu sejalan dengan moral. Jika hal ini terjadi, kepemimpinan mereka kehilangan
kredibilitas di mata penduduk desa pada umumnya. Meskipun demikian, pemimpin
itu merasa terpaksa menyesuaikan diri, karena perintah-perintah itu dikeluarkan oleh
atasannya dan dipaksakan melalui sumber-sumber dari luar dan mengandung
sanksi. Perintah-perintah dapat dilaksanakan langsung melalui pengawasan
terhadap sumber daya vital dan monopoli birokrasi. Perintah gaya sang kodok,
kadang-kadang tidak mengenal kompromi. Sang kodok itu seorang yang otoriter,
biarpun kelihatan periang. Jika bawahan salah, jangan bertanya, akan diberi sanksi
sampai jera.
Konsep yang digunakan sang kodok, inginnya melompat-lompat, biar berhasil
cepat dalam memimpin. Lompatan kodok sungguhberarti bagi pimpinan. Orang Jawa
ingin cepat menjalan kepemimpinan, biarpun berjiwa alon-alon waton kelakon,
artinya lambat tetapi tetap terlaksana. Gaya sang kodok, tidak mau menunda
problem, segera mencari solusi melompat-lompat. Yang penting suasana
kepemimpinan tidak gaduh. Jika kodok sedang melompat dan ngorek, irama tetap
teratur.
D. Kepemimpinan Ratu Adil dan Mesianistis Jawa
Orang Jawa secara simbolik memang gemar melakukan pencarian
mesianis. Mesianistis adalah keyakinan pada kelahiran pimpinan baru dengan
cara meramal. Ramalan akan hadirnya pimpinan yang menjanjikan muncul,
karena adanya ketidakpuasan rakyat. Pemikiran spekulatif orang Jawa memang
sering ada realitasnya, bagi yang benar-benar meyakininya. Seperti di era R.