Page 90 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 90

borok, tak mau mengadili teman yang seadil-adilnya, dan akhirnya yang nampak  asu
               gedhe menang kerahe.
                      Lalu, mana budaya Jawa yang masih “bersih” penerapannya di era reformasi ini?
               Tak ada? Kira-kira begitu. Bayangkan, kalau falsafah hidup orang Jawa yang disebut
               madya (tengah) saja kini telah diobrak-abrik. Budaya Jawa mengenal hidup itu madya,
               seperti terungkap pada prinsip ngono ya ngono neng aja ngono (begitu ya begitu tapi
               mbok jangan begitu (keterlaluan), telah dibelokkan maknanya. Maksudnya, budaya ini
               menghendaki  agar  dalam  pemerintahan  seseorang  tak  terlalu  berlebihan,  tak
               memperkaya diri, tak menutupi kesalahan orang lain, tapi bisa berbuatlah adil. Yakni,
               adil yang harmoni, tak terlalu memihak, melainkan membuat semua enak  – pimpinan
               enak,  rakyat  enak.  Sayangnya,  yang  terjadi  justru  budaya  madya  ini  untuk  menutupi
               kesalahan  koruptor.  Artinya,  boleh  saja  membuka  koruptor,  tapi  kalau  dia  banyak
               berjuang, ya jangan dihukum berat – ini kan pembelokan budaya Jawa.
                      Jadi,  prinsipnya  saya  tak  begitu  setuju  kalau  bung  Hotman  ingin  “mengganti”
               budaya  Jawa  dengan  struktur  lain.  Karena,  yang  keliru  bukan  budaya  Jawanya,
               melainkan  pelaku  pemerintahan.  Pemerintah  yang  pura-pura  mengkonsumsi  budaya
               Jawa,  tahu  budaya  Jawa  atau  tidak.  Jangan-jangan,  Hotman  sendiri  masih  ragu
               terhadap esensi budaya  Jawa, ini kan repot. Singkat kata, salah besar kalau budaya
               Jawa  dituding  telah  menghancurkan  negeri  ini.  Yang  menyebabkan  korup,  adalah
               pengguna  budaya  Jawa  itu  sendiri  yang  salah  duga.  Jika  dulu  Soeharto  berpegang
               pada  Semar,  sebagai  pamomong  –  jangan-jangan  dia  keliru  lagi  yang  di  pegang.
               Artinya,  Semar  yang  mana?  Kata  Agung  Pranata,  dalam  bukunya  Saatnya  Dukun
               Bicara, Soeharto memang keliru pegang Semar, yaitu penjilmaan Sabdopalon, bukan
               Semar sejati. Padahal, menurut hemat saya Semar sejati, adalah yang ada di gunung
               “Tidar”  kawasan  Magelang.  Di  sana  ada  pakuning  tanah  Jawa,  ada  Semar  yang
               menyebabkan “tidar” (hati sadar).
                      Akhirnya,  saya  usulkan  bukan  penafikan  budaya  Jawa  di  pemerintahan  yang
               mendesak,  melainkan  restrukturisasi  atau  dekonstruksi  budaya  Jawa.  Tak  sekedar
               counter culture, melainkan harus neo-counter culture. Jika dulu R. Ng. Ranggawarsita
               dalam  Serat  Kalatidha  membuka  aib  pemerintah  di  jamannya  dengan  sebutan
               amenangi  zaman  edan  (menjumpai  zaman  edan)  kini  perlu  didekonstruksi  menjadi
               amerangi zaman edan (melawan zaman edan). Tinggal berani atau tidak, era Megawati
               memberantas  zaman edan,  kan  gitu?  Atau,  justru  era  sekarang akan mencetak  neo-
               zaman edan yang supergila lagi?
                      Pemerintah seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi) dan danahita (memberi
               ke bawahan) – bukan sebaliknya mengeruk dana rakyat dengan berbagai dalih. Budaya
               mengeruk  ini,  dugaan  saya  jelas  tradisi  kolonialisme  dulu,  bukan  budaya  Jawa  itu.
               Maka,  budaya  Jawa  perlu  ditelaah  menggunakan  perspektif  postkolonialisme,  bukan
               dari  aspek  modernisme  seperti  bung  Hotman  Siahaan  yang  memandang  budaya
               “hitam-putih”.

               B. Akibat Tradisi Bapakisme
                      Stange (1998, 131-154) dengan tajam mengungkap borok Soeharto (biang keladi
               underdog-nya  orde  baru).  Korupsi  “model  Soeharto”  yang  menekankan  pada
               kepentingan kolektif, sebagai akibat sistem patronase (“bapakisme), adalah ciri penting
               ‘gaya politik orde baru’. Gaya politik yang senang pada “kolusi” dan “upeti”. Persoalan
   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94   95