Page 91 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 91

lain  yang  tidak  kalah  pentingnya  yang  juga  menjadi  perhatian  Stange  adalah
               bagaimana awal Soeharto menggeser Soekarno dengan pembuatan surat kuasa dari
               Soekarno  yang  dikenal  dengan  “Supersemar”.  Surat  sakti  ini,  belakangan  pernah
               menjadi  heboh.  Sebab,  kejadian  yang  unik  ini  memang  telah  diramalkan  oleh
               Sabdopalon dalam sastra Jawa. Begitu pula dukungan Soeharto dan bantuan terang-
               terangan dari Golkar terhadap gerakan kebatinan, adalah pencerminan Soeharto yang
               juga  gemar pada  kebatinan.  Soeharto memang  mempunyai penasehat  spiritual yakni
               Jenderal Sudjono Humardani.
                      Peristiwa  kecurangan  Golkar  yang  ingin  menjadi  single  majority  secara  diam-
               diam,  juga  terungkap  dalam  pandangan  antropolog  historis  Husken  (1998:177).  Ia
               mengungkapkan  kejadian  pada  saat  Pemilu  di  desa  Gondosari  (daerah  Pati)  bahwa
               aparat pemerintah (lurah) memang sengaja dimanfaatkan Golkar, seperti ‘wajib’ harus
               menjadi tokoh Golkar untuk menggerakkan masyarakat ke arah ini. Kenyataan ini juga
               diterapkan pada semua gaya politik orde baru yang ‘mewajibkan’ PNS harus terjun ke
               Golkar. Semua ini dfapat terwujud sebagai dampak dari tradisi bapakisme.
                      Politik kelicikan orde baru, yang dikenal dengan istilah komunikasi politik   alus
               dan kasar. Telah menyobek jiwa bangsa secara diam-diam dan terang-terangan. Model
               alus,  diterapkan  jika  dengan  diam-diam  tapi  pasti,  tidak  kentara.  Seperti  temu  kader,
               misalnya. Model kasar, jelas dengan terang-terangan, kalau perlu kekuatan. Ujung dari
               semua  ini,  tidak  lain  hanyalah  ingin  status  quo  Soeharto  dan  kroninya  agar  tidak
               terdongkel kekuasaannya waktu itu. Hal ini merupakan sistem kekuasaan Jawa yang
               dibangun  dengan  model  bapakisme  yang  imbas  bercampur  dengan  budaya  ABRI
               (baca:komando).
                      Refleksi  dari  sepercik  potret  hitam  dalam  budaya  politik  di  atas,  disadari  atau
               tidak,  jelas  mengawali  runtuhnya  kepercayaan  rakyat  terhadap  orde  baru.  Itu  berarti
               bahwa pelaku politik masa orde baru telah jatuh dan terjebak ke dalam  zaman edan.
               Yakni sebuah  zaman yang  menurut  pujangga  besar R Ng  Ranggawarsita,  akan  atau
               telah  terjadi  pergeseran  kultural  besar-besaran.  Di  sinilah  orang  sudah  berebut
               kekuasaan,  orang  sudah  tega mengorbankan  kepentingan  orang banyak,  kalau  perlu
               ‘membunuh’ orang lain, dan seterusnya. Karena itu, sejak goncangnya rezim orde baru
               yaitu mulai detik-detik lengser keprabon Soeharto, dan bergulirnya era reformasi total –
               bumi kita seperti panas terus.
                       Dalam kaitan itu, patut dicamkan bahwa betapa besarnya kekuasaan penguasa
               ini,  ada  keresahan  di  masyarakat.  Karenanya  ia  mempersoalkan  tentang
               impermanence,  yakni  ketidakabadiaan  kekuasaan.  Persoalan  ini  telah  dijawab
               sementara oleh B.R. Anderson (1986) bahwa kekuasaan memang dapat dipupuk terus-
               menerus sampai mencapai puncaknya, tapi sesudah puncnak dicapai, kekuasaan juga
               menurun dan mulai surut pada perorangan penguasa tersebut.
                       Pernyataan  itu,  telah  dibuktikan  oleh  waktu  –  yakni  anjlognya  Soeharto,  yang
               saat  berkuasanya  hampir  semua  bungkam,  diam  sejuta  bahasa,  semua  orang  takut,
               karena  banyak  pihak  yang  melindungi  dalam  ‘sangkar  emas’.  Dalam  istilah  Jawa,
               seakan-akan  saat  berkuasa  termasuk  penguasa  yang  dhug-dheng  samaladheng
               (penguasa  yang  tak akan  terkalahkan). Akhirnya,  sulit  mencari alibi,  kecuali memang
               ‘Soeharto: harus turun’ atau ‘turun harus: Soeharto’, ‘Soeharto turun: harus!’ meskipun
               Soeharto  bergaya  agak  keberatan  --  tidak  jadi  Presiden  “ora  patheken”  (tidak  sakit
               patek) dan akan madeg pandhita. Pernyataan ini justru akan memperberat dia sendiri,
   86   87   88   89   90   91   92   93   94   95   96