Page 89 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 89

itu,  kebebasan  tak  ada.  Ngomong  tentang  Soeharto,  tentang  korupsi,  bisa  dicekal.
               Budaya  cekal  ini,  juga  tradisi  budaya  Jawa  yang  disalahartikan.  Yakni,  di  era  dulu
               pemimpin absolut seperti raja. Pimpinan harus benar. Padahal, kebenaran raja tempo
               dulu  telah  dilandasi  sabda  pandhita  ratu  berbudi  bawaleksana.  Konsep  bawaleksana
               ini, tampaknya yang tak dihiraukan di era orba, lalu muncul budaya korup. Bahkan, tak
               sekedar korup, juga nepotis dan kolusi yang besar-besaran.
                      Sebenarnya, Paul Stange dalam bukunya Politik Perhatian; Rasa dalam Budaya
               Jawa -- telah menyuarakan underdog-nya orde baru dan korupsi model Soeharto sejak
               lama  (1998).  Budaya  membangun  kroni  di  era  saat  itu,  katanya  sebagai  pesemaian
               sistem  patronase  (bapakisme).  Dalam  kaitan  ini,  atasan  dan  bawahan  seperti  halnya
               hubungan  patron-clien.  Maka,  bawahan  pada  suatu  waktu  harus  memberikan
               pisungsung berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti. Ini juga sering
               diterapkan  secara  keliru  menjadi  budaya  sogok,  asal  bapak  senang  (ABS).  Padahal,
               sebenarnya keluhuran budi Jawa ini, sebagai bentuk pengabdian, bawahan yang ingin
               memberikan  sebagian  rezekinya  kepada  atasan.  Karena,  atasanlah  yang  memberi
               tanah garapan waktu itu. Tapi, sekarang telah dipelintir menjadi budaya suap, budaya
               tutup mulut, dan birokrasi korup yang tertata rapi. Sungguh naif.
                      Konsep  budaya  Jawa  mikul  dhuwur  mendhem  jero,  juga  telah  dibelokkan
               menjadi  budaya  saling  menutupi  kesalahan  orang  lain  dan  kroninya.  Yang  unik  lagi,
               manakala budaya semacam ini akan terbongkar, akhirnya sering muncul budaya golek
               slamete dhewe. Ini tak hanya mewabah di orde baru, tapi juga di era reformasi, yang
               mengadili  Soeharto  dan  teki-teki  Akbar  Tanjung  pun  tak  kunjung  usai.  Bahkan,
               belakangan muncul lagi dugaan terhadap Tosari Widjaya yang menginvestasikan dana
               partai,  dan  AM  Fatwa  yang  diduga  menyuap.  Tampakya,  budaya  simbiosis  busuk  di
               negeri ini sudah semakin parah. Budaya Jawa belantik (dagang sapi) yang sebenarnya
               ke  arah  harmonisasi  (tawar-menawar)  agar  menuju  pada  kesepakatan  --  telah
               disalahartikan lagi, menjadi jual beli kekuasaan, arisan loyalitas – dagang perkara, jual
               keadilan, tengkulak demokrasi dan seterusnya.
                      Sepercik  potret  hitam  dalam  budaya  politik  di  atas,  disadari  atau  tidak,  jelas
               mengawali  runtuhnya  kepercayaan  rakyat  terhadap  orde  baru  dan  reformasi.
               Bagaimana tidak, jika bung Hotman menyontohkan orang di dekat Megawati juga lebih
               pada loyalitas, bukan keahlian. Apalagi, memang waktu itu ada sebutan kabinet gotong
               royong, yang maksudnya penuh kerjasama tanpa pamrih, lalu disalahartikan – menjadi
               bagi-bagi  rezeki  kan  kekuasaan  serta  bersama-sama  menutupi  aib.  Kalau  begitu,
               sistem  negara  ini  memang  telah  rapuh,  bukan  budaya  Jawanya  yang  kerdil.  Biang
               keladinya,  bukan  budayanya,  melainkan  manusianya  yang  gemar  membelokkan
               budaya Jawa.
                      Budaya  Jawa  gotong  royong,  telah  dibelokkan  seratus  delapan  puluh  derajat,
               dan mengakibatkan kasus-kasus yang menyangkut orang besar “kandas”. Betapa tidak,
               sampai kini kasus Udin, yang terkait dengan Sri Roso Sudarmo mantan Bupati Bantul,
               kasus Edi Tansil (Edi Kancil?), kasus Bank Bali, kasus A Rahman, kasus Probosutedjo,
               dan ribuan kasus lain – hanya diwacanakan saja. Toh akhirnya budaya ewuh pakewuh
               yang  sebenarnya  adiluhung,  dijadikan  kambing  hitam  untuk  menutupi  teman
               seperjuangan. Ewuh pakewuh adalah sendi budaya Jawa yang baik, berarti seharusnya
               atasan  dan  bawahan  seharusnya  ewuh  pakewuh  berbuat  “KKN”,  tapi  justru  di  era
               reformasi ini telah berubah total. Ewuh pakewuh menjadi budaya saling tutup-menutupi
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94