Page 84 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 84

bagi  kebijakan  negara.  Para  pemimpin  Islam  tergabung  dalam  Majelis  Ulama  di
               seluruh wilayah negara, di bawah pengawasan Kantor Urusan Agama kecamatan.
                     Isbat Jawa menyatakan kodhok ngemule lenge, adalah nuansa kepemimpinan
               mistik  kejawen.  Pemimpin  yang  bisa  manunggal  dengan  bawahan,  begitu  pula
               sebaliknya, adalah potret kepaduan intim. Dalam kategori ini, sang kodok menjadi
               pegangan  mistis  bagi  seorang  pimpinan.  Kodhok  dapat  mewadahi  aspirasi
               bawahan, dan bawahan dapat mengikuti kemauan atasan. Jika demikian terjadilah
               kepaduan harapan. Berbeda kalau kodok itu tidak mampu membungkus lubangnya,
               berarti hanya berjalan sepihak. Hal ini persis ketika banyak anggota elit pedesaan,
               dengan  atau  tanpa  persetujuan  mereka,  dipaksa  atau  dihimbau  untuk  menjadi
               bagian dari birokrasi, menduduki jabatan yang digaji maupun tidak dalam  birokrasi
               desa.  Juga  para  pemimpin  tradisional  informal  setempat,  seperti  sesepuh  di
               kalangan masyarakat, guru-guru kebatinan, dsb. berada di bawah tekanan keras dari
               pemerintah  pusat  untuk  bergabung  ke  dalam  proyek-proyek  Orde  Baru.  Sebagai
               warga  negara  yang  loyal,  merupakan  kewajiban  mereka  untuk  membantu  dalam
               pengawasan politik dan mendukung pembangunan ekonomi. Dengan demikian, para
               pemimpin  lokal  ditekan  dari  dua  sisi.  Mereka  diharapkan  mewakili  kepentingan
               rakyat  yang  memilih  dan,  di  samping  itu  mereka  wajib  menjalankan  semua
               keputusan      pemerintah      dan     dengan      setia    melaksanakan       proyekproyek
               pembangunan. Legitimasi penguasa tingkat atas sering dipadankan dengan tuntutan
               ketertiban  yang  didasarkan  atas  kepentingan  masyarakat  yang  berbeda-beda.
               Dalam  konteks  tuntutan  inilah  persetujuan  untuk  atau  kerelaan  terhadap  kebijakan
               yang berasal dari luar harus diterjemahkan sebagai diterima di mata rakyat.
                     Ada  ungkapan  yang  menarik  terkait  dengan  sang  kodok,  yaitu  “katak  hendak
               menjadi  lembu.”  Artinya,  orang  kecil  yang  berkeinginan  melebihi  batas-batas
               kewajaran. Sang kodok memang sering begitu, terutama koodok berjenis kintel. Dia
               sering menggelembungkan perutnya. Kesombongan yang muncul dalam watak sang
               kodok memang tidak layak ditiru bagi seorang pimpinan. Namun kalau diperhatikan,
               kepemimpinan  sang  kodok  demikian  ternyata  ada  dalam  dunia  Jawa.Bnayak
               pemimpin yang sombong,rumangsa bisa, artinya merasa bisa dan berkuasa.
                     Dari kepemimpinan sang kodok memang ada yang bagus dan ada watak yang
               tidak bagus. Yang bagus, apabila pemimpin Jawa bertindak secara senang gembira,
               bahagia, tidak mudah marah. Yang tidak bagus apabila pemimpin termaksud selalu
               merasa  berkuasa,  sehingga  bertindak  tidak  wajar.  Bahkan  dalam  dunia  ramalan
               Jawa,  ada  kebiasaan  yang  tidak  baik  yang  sering  dilakukan  sang  kodok,  yaitu
               ungkapan:  semut  ngangkrang  ngrangsang  ardi  Merapi,  prajurite  kodok  precil  kang
               mripate  sakenong-kenong.  Artinya,  rakyat  kecil  yang  menjadi  pimpinan  dengan
               bawahan  seperti  kodok  kecil-kecil,  biasanya  lebih  setia.  Kodok-kodok  itu  setia
               menjaga keamanan atasan, diperjuangkan mati-matian.
                     Dalam  konteks  demikian,  kesetiaan  sering  diterjemahkan  menjadi  tunduk
               patuh, yang dibumbui dengan suap. Konteks bekti dengan suap, tentu menjadi peta
               kepemimpinan  yang  kurang  bagus.  Sejalan  dengan  bahasan  ini,  Antlov  dan
               Cederroth  (2001:14)  menyebutkan  ada  dua  tipe  tanggung  jawab  kepemimpinan
               dapat  dibedakan:  (1)  Pemimpin  yang  terutama  berorientasi  moral  dengan  rasa
               tanggung  jawab  kemasyarakatan  yang  tinggi.  Pemimpin  yang  demikian  itu  merasa
               sangat risau karena mereka adalah hasil pilihan, dan mereka dibentengi oleh ekspos
   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89