Page 88 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 88
BAB IX
POLITIK DAN BUDAYA KEKUASAAN JAWA
A. Aplikasi Kekuasaan Jawa yang Salah
Sepintas, ada tohokan bung Hotman Siahaan (Kompas, 7/11/2002, hal 9)
terhadap budaya kekuasaan Jawa. Dia menganggap bahwa budaya Jawa
patrimonialisme hanya menjadi embrio birokrasi korup. Ini masih perlu pending dalam
benak kita. Maksudnya, tentu tak semua budaya bapakisme sejelek itu. Itu kan era
Soeharto, atau imbasnya ke era reformasi yang belum “tercuci” dari orde korup. Artinya,
kalau semua pelaku sejarah reformasi masih “begitu-begitu terus”, mengedepankan
budaya loyal buta, bukan keahlian – ini memang salah tafsir terhadap budaya Jawa.
Jika budaya Jawa yang kratonik, ditafsirkan semau gue, tentu yang terjadi
negara korup. Yang terjadi, orang Jawa selalu bersikap inggih-inggih nun sendika
dhawuh, yang bersifat semu, bukan keikhlasan. Celakanya lagi, kemudian budaya upeti
palsu, sulit terelakkan. Karena, seperti ditonjokkan Hans Antlov dan Sven Cederroth
dalam buku Kepemimpinan Jawa – telah terjadi perintah halus di kancah kepemimpinan
Jawa. Sayangnya, perintah halus yang manis, berubah menjadi otoriter – seperti
budaya perintah di dunia polisi dan ABRI. Akibatnya, atasan dan bawahan
menggembungkan budaya “tst” (tahu sama tahu) untuk korupsi, yang ujung-ujungnya
untuk mempertahankan status quo. Kalau begitu, mungkin saja negara ini kelak akan
terbolak-balik – ada sekolah tinggi koruptor, yang dosen-dosenya dan rektornya ahli
korup. Ini jelas keterlaluan.
Yang perlu mendapat kecermatan lagi, tak lain ketika Hotman menginginkan
counter culture (membubui istilah Sultan HB X) -- tak sekedar revitalisasi atau
pelurusan interpretasi. Dia mengusulkan agar ada penafikan total terhadap budaya
Jawa. Pernyataan ini, memang terlalu gegabah. Sebab, yang perlu dirombak dan
diganti, sesungguhnya bukan budaya Jawanya. Yang perlu “diamputasi” menurut
pikirannya saya, justru perilaku bangsa yang salah tafsir. Budaya korup memang tradisi
busuk. Barang busuk, jelek, tak mungkin jika sekedar disingkirkan – toh tetap berbau.
Budaya busuk itu harus dimusnahkan, diamputasi, dan “dicuci darah” dengan
penafsiran budaya Jawa yang tepat.
Budaya korup memang ibarat kotoran kerbau. Harta korup pun, selamanya
haram, meski dibersihkan tujuh turunan – kata KH Qudlori, anggota komisi A DPRD DIY
dalam sebuah pengajian. Logikanya, tak mungkin orang mencuci tai kerbau menjadi
emas. Jadi, yang dibersihkan bukan kotorannya, melainkan budayanya. Saya setuju
sekali dengan ini. Hanya saja, pengkatarsisan budaya tersebut, tak perlu harus
mengganti total budaya Jawa. Ini tak menyelesaikan masalah. Karena, yang salah
bukan budayanya, melainkan penafsiran dan impelementasinya yang berlebihan.
Pernyataan Hotman di atas, sebenarnya agak terlambat. Ketinggalan kereta,
seperti kesiangan. Karena, seharusnya ucapan itu muncul di era orba. Memang waktu